夏 の カレンダー
Jepang merupakan negara kepulauan. Luasnya hampir sama dengan luas pulau Sumatera. Bentuk negaranya adalah kerajaan dan kepala pemerintahannya adalah perdana menteri. Jepang terdiri dari pulau besar yaitu Honshu, Hokkaidou, Shikoku, dan Kyushu.
Sama halnya dengan Indonesia, Jepang juga merupakan negara yang memiliki banyak warisan budaya yang patut diketahui serta dilestarikan oleh anak cucunya. Tidak hanya warga Jepang saja yang perlu mengetahui warisan budaya tersebut, tetapi akan lebih baik jika Jepang memperkenalkan budaya mereka kepada masyarakat dunia.
Selain untuk diperkenalkan kepada masyarakat dunia, warisan budaya itu dapat dijadikan sebagai tujuan berwisata para wisatawan asing yang datang ke Jepang, yang tentunya menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit bagi negara Jepang sendiri. Karena keberadaan warisan budaya tersebut akan menimbulkan ketertarikan para wisatawan untuk datang dan melihat lebih dekat seperti apa budaya Jepang tersebut.
Kebudayaan Jepang sendiri terlaksana berdasarkan musim yang ada di sana. Makalah ini sendiri akan membahas mengenai kebudayaan yang dilangsungkan pada musim panas (natsu). Beberapa perayaan yang dilaksanakan pada musim panas (natsu) diantaranya: nyuubai, taue, tanabata, bon, serta doyou.
Nyuubai (入梅)
Sekitar awal Juni hingga pertengahan Juli, datanglah musim hujan yang menyirami hampir seluruh wilayah Jepang, yang dikenal dengan sebutan “tsuyu”. Secara harfiah, tsuyu berarti “hujan plum”. Dinamakan demikian karena matangnya buah plum bertepatan dengan datangnya tsuyu. Buah plum yang matang ini kemudian diolah menjadi “umeboshi” yaitu buah plum yang diasam-asinkan.
Wilayah utara Jepang seperti Hokkaidou memang tidak mengalami tsuyu, dan wilayah selatan Jepang seperti Okinawa mengalami tsuyu lebih awal dibanding daerah Kantou. Tsuyu ini diakibatkan oleh tumbukan massa udara antara udara dingin dari utara dan udara hangat dari selatan. Ketika memasuki bulan Agustus, front udara hangat dari selatan semakin menguat dan akirnya berhasil menekan mundur front udara dingin sehingga datanglah musim panas di Jepang yang lembab dan gerah. Dengan demikian, tsuyu merupakan indikasi perubahan dari musim semi menjadi musim panas.
Selama beberapa pekan selama tsuyu, hampir setiap hari selalu turun hujan. Hujan di Jepang agak berbeda dengan hujan di Indonesia. Hujan di daerah tropis seperti di Indonesia biasanya cukup lebat dan berlangsung singkat sekitar dua sampai tiga jam, sedangkan hujan di Jepang biasanya gerimis atau rerintikan tapi dapat berlangsung selama berjam-jam. Air hujan selama tsuyu juga memainkan peran penting bagi penanaman padi, yang akan tumbuh pesat selama musim panas dan dipanen di musim gugur.
Walaupun selama tsuyu cuaca sering berawan, namun selama tsuyu inilah bunga “hydrangea” mekar dengan indahnya. Bunga hydrangea (hortensia) ini disebut “ajisai” dalam bahasa Jepang. Ada banyak jenis hydrangea, akan tetapi yang paling populer adalah spesies Hydrangea macrophylla. Pohon bunga hydrangea ini berupa perdu, dan sering ditanam di pagar atau pekarangan rumah. Yang unik dari hydrangea ini adalah warna bunganya yang bisa berubah antara biru ungu, pink merah atau krim pucat, tergantung tingkat keasaman (pH) tanah. Tanah yang agak asam menghasilkan bunga berwarna biru, tanah yang agak basa menghasilkan warna pink atau ungu, dan tanah netral menghasilkan warna krim pucat.
Taue ( 田植え)
Taue merupakan suatu kegiatan menanam padi pada bulan Juni. Selama bulan Juni tersebut di seluruh Jepang akan ditemui petani-petani yang mendorong mesin yang berisi bibit tanaman padi berukuran sekitar 4 inchi (10 cm). Meskipun telah terjadi penurunan jumlah orang Jepang yang mengkonsumsi beras, beras masih merupakan makanan pokok orang Jepang.
Benih padi ditanam pada nampan plastik hingga menghasilkan bibit padi berukuran sekitar 4 inchi (10 cm). Dan pada saat penanaman, bibit padi dikeluarkan dari nampan yang kemudian diatur pada mesin yang akan digunakan untuk menyebar bibit untuk ditanam. Meskipun para petani lebih banyak menggunakan mesin pada saat penanaman, ada titik-titik dimana penanaman padi harus dilakukan secara manual oleh petani itu sendiri.
Tanabata (七夕)
Tanabata atau yang disebut juga sebagai Festival Bintang merupakan salah satu perayaan yang berkaitan dengan musim di Jepang, Tiongkok, dan Korea. Tanggal Festival Tanabata dulunya mengikuti Kalender Lunisolar yang kira-kira sebulan lebih lambat bila dibandingkan dengan Kalender Gregorian. Sejak Kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, perayaan Tanabata diadakan malam tanggal 7 Juli, hari ke-7 bulan ke-7 Kalender Lunisolar atau sebulan lebih lambat sekitar tanggal 8 Agustus. Tradisi perayaan berasal dari Tiongkok yang diperkenalkan di Jepang pada Jaman Nara.
Tanabata diperkirakan merupakan sinkretisme antara tradisi Jepang kuno mendoakan arwah leluhur atas keberhasilan panen dan perayaan Qi Qiao Jie asal Tiongkok yang mendoakan kemahiran seorang wanita dalam menenun. Pada awalnya Tanabata merupakan bagian dari perayaan Obon, tapi kemudian dijadikan perayaan terpisah. Daun bambu (sasa) digunakan sebagai hiasan dalam perayaan karena dipercaya sebagai tempat tinggal leluhur.
Legenda asli Jepang tentang Tanabatatsume yang terdapat dalam kitab Kojiki mengisahkan seorang pelayan wanita bernama Tanabatatsume yang harus menenun pakaian untuk dewa di tepi sungai, dan menunggu di rumah menenun untuk dijadikan istri semalam sang dewa agar desa terhindar dari bencana.
Legenda lainnya tentang Tanabata di Jepang dan Tiongkok mengisahkan bintang Vega yang merupakan bintang tercerah dalam rasi bintang Lyra sebagai Orihime (Shokujou), seorang putri Raja Langit yang pandai menenun dan dikenal sebagai penenun kain Raja Langit. Pekerjaan itu sangat menyibukkan Orihime sehingga tak punya waktu untuk dirinya sendiri, bahkan untuk menenun kain bagi dirinya sendiri pun ia tidak bisa. Ayahnya yang khawatir dengan kesendirian Orihime memperkenalkannya dengan Hikoboshi (bintang Altair dari rasi bintang Aquila), seorang penggembala sapi yang tinggal di seberang Sungai Milky Way (gugusan Bima Sakti). Keduanya makin dekat, dewa penguasa kerajaan langit sepakat dan akhirnya menikahkan sejoli itu.
Tetapi cinta telah membuat dua sejoli itu mabuk kepayang. Orihime lalai menunaikan tugasnya yang membuat dewa penguasa langit murka. Dewa pun melarangnya untuk bertemu dengan suaminya. Keduanya terpisahkan oleh Sungai Amanogawa (galaksi Bima Sakti) dan hanya diijinkan bertemu setahun sekali di malam hari ke-7 bulan ke-7. Jika kebetulan turun hujan, Sungai Amanogawa menjadi meluap dan Orihime tidak bisa menyeberangi sungai untuk bertemu suaminya, sekawanan burung kasasagi terbang menghampiri Hikoboshi dan Orihime yang sedang bersedih dan berbaris membentuk jembatan yang melintasi Sungai Amanogawa supaya Hikoboshi dan Orihime tetap bisa bertemu. Peristiwa inilah yang kemudian disebut Tanabata.
Perayaan dilakukan di malam ke-6 bulan ke-7, atau pagi hari ke-7 bulan ke-7. Sebagian besar upacara dimulai setelah tengah malam sekitar pukul 01.00 dini hari. Di tengah malam bintang-bintang naik mendekati zenith dan merupakan saat bintang Altair, bintang Vega, dan galaksi Bima Sakti paling mudah dilihat. Hujan yang turun di malam Tanabata disebut “sairuiu” dan konon berasal dari air mata Orihime dan Hikoboshi yang menangis karena tidak bisa bertemu.
Festifal Tanabata dimeriahkan dengan tradisi menulis permohonan di atas “tanzaku” (kertas warna warni). Tradisi ini khas Jepang dan sudah ada sejak Jaman Edo. Kertas tanzaku terdiri dari 5 warna (hijau, merah, kuning, putih, dan hitam). Permohonan yang dituliskan pada tanzaku bisa bermacam-macam sesuai dengan keinginan orang yang menulis. Kertas-kertas tanzaku yang berisi berbagai macam permohonan diikatkan di ranting daun bambu membentuk pohon harapan di hari ke-6 bulan ke-7. Orang yang kebetulan tinggal di dekat laut mempunyai tradisi melarung pohon harapan ke laut sebagai tanda puncak perayaan. Tetapi kebiasaan ini sekarang semakin ditinggalkan orang karena hiasan banyak yang terbuat dari plastik.
Adapun hiasan lainnya yakni “kamigomoro” yaitu kimono kertas yang melambangkan wujud manusia agar dijauhkan dari penyakit dan malapetaka. “Kuzukago” atau kantong tempat sampah yang melambangkan kebersihan dan juga dibutuhkan masyarakat yang beradab. Serta “toami” yaitu semacam jaring ikan yang terbuat dari potongan kertas yang melambangkan panen para petani dan nelayan agar berhasil.
Bon ( 盆)
Bon atau yang juga dikenal dengan sebutan Obon adalah serangkaian upacara untuk merayakan kedatangan arwah leluhur yang dilakukan sekitar tanggal 15 Juli menurut Kalender Lunisolar. Pada tanggal 13 Juli 1873 pemerintah daerah Yamanashi Ken dan Niigata Ken sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut Kalender Lunisolar. Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli semakin sedikit. Umumnya orang Jepang merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus sesuai dengan Kalender Gregorian.
Pada umumnya, Obon dikenal sebagai upacara yang berkaitan dengan agama Budha Jepang, tetapi banyak sekali tradisi dalam perayaan Obon yang tidak bisa dijelaskan dengan dogma agama Budha. Obon dalam bentuk seperti sekarang ini merupakan sinkretisme dari tradisi turun temurun masyarakat Jepang dengan upacara agama Budha yang disebut “Urabon”.
Obon sendiri merupakan bentuk singkat dari istilah agama Budha Urabon yang hanya diambil aksara Kanji terakhirnya saja yaitu “bon” ditambah awalan honorifik huruf “O”. Pada mulanya, Obon berarti “meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para arwah”. Selanjutnya Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal (shourou) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan barang-barang persembahan.
Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam.
mukaebi
Orang Jepang percaya bahwa arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut “mukaebi” untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi pemukiman, orang jaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan leluhur. Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama Budha dipanggil untuk membacakan “sutra” bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Budha sewaktu Obon disebut “tanagyou” karena dibacakan di depan altar berisi barang persembahan yang disebut “shouroudana” atau “tana”. Pada tanggal 16 Agustus arwah leluhur kembali pulang ke alam sana dengan diterangi api yang disebut “okuribi”.
Bon Odori
Acara menari bersama yang disebut “Bon Odori” dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Budha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di neraka. Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas yang diadakan di Jepang.
Doyou (土用)
Doyou merupakan hari dimana panas terasa sangat menyengat di Jepang. Hari ini berlangsung sekitar minggu ke-3 sampai minggu ke-4 bulan Juli. Pada hari dimana panas terasa sangat menyengat ini terdapat tradisi makan “unagi kabayaki” oleh seluruh masyarakat Jepang. Unagi kabayaki itu sendiri merupakan makanan yang terbuat dari belut. Kabayaki yang dimaksud disini adalah cara memasak ikan dalam masakan Jepang. Setelah dibelah dan dibuang isi perut dan tulang, ikan ditusuk dengan tusukan besi atau bambu, yang kemudian diberi saus yang terbuat dari campuran kecap asin (shoyu), mirin, gula pasir, dan sake.
Unagi adalah s ejenis ikan laut yang sudah dikembangbiakkan di air tawar sehingga sangat baik untuk dikonsumsi. Belut Jepang ini termasuk makanan tradisional yang disukai oleh masyarakat Jepang, khususnya pada musim panas. Konon, hidangan berprotein tinggi ini sudah menjadi makanan tradisional penduduk Jepang sejak abad 17. Tak hanya berprotein tinggi, unagi juga bagus untuk membangkitkan stamina tubuh. Dagingnya yang lembut bisa diolah dengan cara dipanggang ataupun digoreng.
Pada Jaman Edo (1603-1867), seorang pengusaha restoran unagi meminta saran dari seorang ilmuwan bernama Hiragi Gennai, supaya usaha restorannya laris. Hiragi Gennai menyarankan agar memasang iklan besar yang sebagian isinya bertuliskan “doyou no ushi no hi” yang artinya “pertengahan musim panas pada tahun kerbau”. Entah apa yang mendasari, masyarakat Jepang sejak saat itu percaya bahwa agar dapat bertahan pada musim panas, mereka harus makan makanan yang berawalan huruf “U”. Hasilnya, restoran si pengusaha menjadi ramai dan sejak saat itulah orang Jepang senang makan unagi di musim panas.
Sama halnya dengan Indonesia, Jepang juga merupakan negara yang memiliki banyak warisan budaya yang patut diketahui serta dilestarikan oleh anak cucunya. Tidak hanya warga Jepang saja yang perlu mengetahui warisan budaya tersebut, tetapi akan lebih baik jika Jepang memperkenalkan budaya mereka kepada masyarakat dunia.
Selain untuk diperkenalkan kepada masyarakat dunia, warisan budaya itu dapat dijadikan sebagai tujuan berwisata para wisatawan asing yang datang ke Jepang, yang tentunya menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit bagi negara Jepang sendiri. Karena keberadaan warisan budaya tersebut akan menimbulkan ketertarikan para wisatawan untuk datang dan melihat lebih dekat seperti apa budaya Jepang tersebut.
Kebudayaan Jepang sendiri terlaksana berdasarkan musim yang ada di sana. Makalah ini sendiri akan membahas mengenai kebudayaan yang dilangsungkan pada musim panas (natsu). Beberapa perayaan yang dilaksanakan pada musim panas (natsu) diantaranya: nyuubai, taue, tanabata, bon, serta doyou.
Nyuubai (入梅)
Sekitar awal Juni hingga pertengahan Juli, datanglah musim hujan yang menyirami hampir seluruh wilayah Jepang, yang dikenal dengan sebutan “tsuyu”. Secara harfiah, tsuyu berarti “hujan plum”. Dinamakan demikian karena matangnya buah plum bertepatan dengan datangnya tsuyu. Buah plum yang matang ini kemudian diolah menjadi “umeboshi” yaitu buah plum yang diasam-asinkan.
Wilayah utara Jepang seperti Hokkaidou memang tidak mengalami tsuyu, dan wilayah selatan Jepang seperti Okinawa mengalami tsuyu lebih awal dibanding daerah Kantou. Tsuyu ini diakibatkan oleh tumbukan massa udara antara udara dingin dari utara dan udara hangat dari selatan. Ketika memasuki bulan Agustus, front udara hangat dari selatan semakin menguat dan akirnya berhasil menekan mundur front udara dingin sehingga datanglah musim panas di Jepang yang lembab dan gerah. Dengan demikian, tsuyu merupakan indikasi perubahan dari musim semi menjadi musim panas.
Selama beberapa pekan selama tsuyu, hampir setiap hari selalu turun hujan. Hujan di Jepang agak berbeda dengan hujan di Indonesia. Hujan di daerah tropis seperti di Indonesia biasanya cukup lebat dan berlangsung singkat sekitar dua sampai tiga jam, sedangkan hujan di Jepang biasanya gerimis atau rerintikan tapi dapat berlangsung selama berjam-jam. Air hujan selama tsuyu juga memainkan peran penting bagi penanaman padi, yang akan tumbuh pesat selama musim panas dan dipanen di musim gugur.
Walaupun selama tsuyu cuaca sering berawan, namun selama tsuyu inilah bunga “hydrangea” mekar dengan indahnya. Bunga hydrangea (hortensia) ini disebut “ajisai” dalam bahasa Jepang. Ada banyak jenis hydrangea, akan tetapi yang paling populer adalah spesies Hydrangea macrophylla. Pohon bunga hydrangea ini berupa perdu, dan sering ditanam di pagar atau pekarangan rumah. Yang unik dari hydrangea ini adalah warna bunganya yang bisa berubah antara biru ungu, pink merah atau krim pucat, tergantung tingkat keasaman (pH) tanah. Tanah yang agak asam menghasilkan bunga berwarna biru, tanah yang agak basa menghasilkan warna pink atau ungu, dan tanah netral menghasilkan warna krim pucat.
Taue ( 田植え)
Taue merupakan suatu kegiatan menanam padi pada bulan Juni. Selama bulan Juni tersebut di seluruh Jepang akan ditemui petani-petani yang mendorong mesin yang berisi bibit tanaman padi berukuran sekitar 4 inchi (10 cm). Meskipun telah terjadi penurunan jumlah orang Jepang yang mengkonsumsi beras, beras masih merupakan makanan pokok orang Jepang.
Benih padi ditanam pada nampan plastik hingga menghasilkan bibit padi berukuran sekitar 4 inchi (10 cm). Dan pada saat penanaman, bibit padi dikeluarkan dari nampan yang kemudian diatur pada mesin yang akan digunakan untuk menyebar bibit untuk ditanam. Meskipun para petani lebih banyak menggunakan mesin pada saat penanaman, ada titik-titik dimana penanaman padi harus dilakukan secara manual oleh petani itu sendiri.
Tanabata (七夕)
Tanabata atau yang disebut juga sebagai Festival Bintang merupakan salah satu perayaan yang berkaitan dengan musim di Jepang, Tiongkok, dan Korea. Tanggal Festival Tanabata dulunya mengikuti Kalender Lunisolar yang kira-kira sebulan lebih lambat bila dibandingkan dengan Kalender Gregorian. Sejak Kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, perayaan Tanabata diadakan malam tanggal 7 Juli, hari ke-7 bulan ke-7 Kalender Lunisolar atau sebulan lebih lambat sekitar tanggal 8 Agustus. Tradisi perayaan berasal dari Tiongkok yang diperkenalkan di Jepang pada Jaman Nara.
Tanabata diperkirakan merupakan sinkretisme antara tradisi Jepang kuno mendoakan arwah leluhur atas keberhasilan panen dan perayaan Qi Qiao Jie asal Tiongkok yang mendoakan kemahiran seorang wanita dalam menenun. Pada awalnya Tanabata merupakan bagian dari perayaan Obon, tapi kemudian dijadikan perayaan terpisah. Daun bambu (sasa) digunakan sebagai hiasan dalam perayaan karena dipercaya sebagai tempat tinggal leluhur.
Legenda asli Jepang tentang Tanabatatsume yang terdapat dalam kitab Kojiki mengisahkan seorang pelayan wanita bernama Tanabatatsume yang harus menenun pakaian untuk dewa di tepi sungai, dan menunggu di rumah menenun untuk dijadikan istri semalam sang dewa agar desa terhindar dari bencana.
Legenda lainnya tentang Tanabata di Jepang dan Tiongkok mengisahkan bintang Vega yang merupakan bintang tercerah dalam rasi bintang Lyra sebagai Orihime (Shokujou), seorang putri Raja Langit yang pandai menenun dan dikenal sebagai penenun kain Raja Langit. Pekerjaan itu sangat menyibukkan Orihime sehingga tak punya waktu untuk dirinya sendiri, bahkan untuk menenun kain bagi dirinya sendiri pun ia tidak bisa. Ayahnya yang khawatir dengan kesendirian Orihime memperkenalkannya dengan Hikoboshi (bintang Altair dari rasi bintang Aquila), seorang penggembala sapi yang tinggal di seberang Sungai Milky Way (gugusan Bima Sakti). Keduanya makin dekat, dewa penguasa kerajaan langit sepakat dan akhirnya menikahkan sejoli itu.
Tetapi cinta telah membuat dua sejoli itu mabuk kepayang. Orihime lalai menunaikan tugasnya yang membuat dewa penguasa langit murka. Dewa pun melarangnya untuk bertemu dengan suaminya. Keduanya terpisahkan oleh Sungai Amanogawa (galaksi Bima Sakti) dan hanya diijinkan bertemu setahun sekali di malam hari ke-7 bulan ke-7. Jika kebetulan turun hujan, Sungai Amanogawa menjadi meluap dan Orihime tidak bisa menyeberangi sungai untuk bertemu suaminya, sekawanan burung kasasagi terbang menghampiri Hikoboshi dan Orihime yang sedang bersedih dan berbaris membentuk jembatan yang melintasi Sungai Amanogawa supaya Hikoboshi dan Orihime tetap bisa bertemu. Peristiwa inilah yang kemudian disebut Tanabata.
Perayaan dilakukan di malam ke-6 bulan ke-7, atau pagi hari ke-7 bulan ke-7. Sebagian besar upacara dimulai setelah tengah malam sekitar pukul 01.00 dini hari. Di tengah malam bintang-bintang naik mendekati zenith dan merupakan saat bintang Altair, bintang Vega, dan galaksi Bima Sakti paling mudah dilihat. Hujan yang turun di malam Tanabata disebut “sairuiu” dan konon berasal dari air mata Orihime dan Hikoboshi yang menangis karena tidak bisa bertemu.
Festifal Tanabata dimeriahkan dengan tradisi menulis permohonan di atas “tanzaku” (kertas warna warni). Tradisi ini khas Jepang dan sudah ada sejak Jaman Edo. Kertas tanzaku terdiri dari 5 warna (hijau, merah, kuning, putih, dan hitam). Permohonan yang dituliskan pada tanzaku bisa bermacam-macam sesuai dengan keinginan orang yang menulis. Kertas-kertas tanzaku yang berisi berbagai macam permohonan diikatkan di ranting daun bambu membentuk pohon harapan di hari ke-6 bulan ke-7. Orang yang kebetulan tinggal di dekat laut mempunyai tradisi melarung pohon harapan ke laut sebagai tanda puncak perayaan. Tetapi kebiasaan ini sekarang semakin ditinggalkan orang karena hiasan banyak yang terbuat dari plastik.
Adapun hiasan lainnya yakni “kamigomoro” yaitu kimono kertas yang melambangkan wujud manusia agar dijauhkan dari penyakit dan malapetaka. “Kuzukago” atau kantong tempat sampah yang melambangkan kebersihan dan juga dibutuhkan masyarakat yang beradab. Serta “toami” yaitu semacam jaring ikan yang terbuat dari potongan kertas yang melambangkan panen para petani dan nelayan agar berhasil.
Bon ( 盆)
Bon atau yang juga dikenal dengan sebutan Obon adalah serangkaian upacara untuk merayakan kedatangan arwah leluhur yang dilakukan sekitar tanggal 15 Juli menurut Kalender Lunisolar. Pada tanggal 13 Juli 1873 pemerintah daerah Yamanashi Ken dan Niigata Ken sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut Kalender Lunisolar. Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli semakin sedikit. Umumnya orang Jepang merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus sesuai dengan Kalender Gregorian.
Pada umumnya, Obon dikenal sebagai upacara yang berkaitan dengan agama Budha Jepang, tetapi banyak sekali tradisi dalam perayaan Obon yang tidak bisa dijelaskan dengan dogma agama Budha. Obon dalam bentuk seperti sekarang ini merupakan sinkretisme dari tradisi turun temurun masyarakat Jepang dengan upacara agama Budha yang disebut “Urabon”.
Obon sendiri merupakan bentuk singkat dari istilah agama Budha Urabon yang hanya diambil aksara Kanji terakhirnya saja yaitu “bon” ditambah awalan honorifik huruf “O”. Pada mulanya, Obon berarti “meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para arwah”. Selanjutnya Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal (shourou) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan barang-barang persembahan.
Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam.
mukaebi
Orang Jepang percaya bahwa arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut “mukaebi” untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi pemukiman, orang jaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan leluhur. Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama Budha dipanggil untuk membacakan “sutra” bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Budha sewaktu Obon disebut “tanagyou” karena dibacakan di depan altar berisi barang persembahan yang disebut “shouroudana” atau “tana”. Pada tanggal 16 Agustus arwah leluhur kembali pulang ke alam sana dengan diterangi api yang disebut “okuribi”.
Bon Odori
Acara menari bersama yang disebut “Bon Odori” dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Budha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di neraka. Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas yang diadakan di Jepang.
Doyou (土用)
Doyou merupakan hari dimana panas terasa sangat menyengat di Jepang. Hari ini berlangsung sekitar minggu ke-3 sampai minggu ke-4 bulan Juli. Pada hari dimana panas terasa sangat menyengat ini terdapat tradisi makan “unagi kabayaki” oleh seluruh masyarakat Jepang. Unagi kabayaki itu sendiri merupakan makanan yang terbuat dari belut. Kabayaki yang dimaksud disini adalah cara memasak ikan dalam masakan Jepang. Setelah dibelah dan dibuang isi perut dan tulang, ikan ditusuk dengan tusukan besi atau bambu, yang kemudian diberi saus yang terbuat dari campuran kecap asin (shoyu), mirin, gula pasir, dan sake.
Unagi adalah s ejenis ikan laut yang sudah dikembangbiakkan di air tawar sehingga sangat baik untuk dikonsumsi. Belut Jepang ini termasuk makanan tradisional yang disukai oleh masyarakat Jepang, khususnya pada musim panas. Konon, hidangan berprotein tinggi ini sudah menjadi makanan tradisional penduduk Jepang sejak abad 17. Tak hanya berprotein tinggi, unagi juga bagus untuk membangkitkan stamina tubuh. Dagingnya yang lembut bisa diolah dengan cara dipanggang ataupun digoreng.
Pada Jaman Edo (1603-1867), seorang pengusaha restoran unagi meminta saran dari seorang ilmuwan bernama Hiragi Gennai, supaya usaha restorannya laris. Hiragi Gennai menyarankan agar memasang iklan besar yang sebagian isinya bertuliskan “doyou no ushi no hi” yang artinya “pertengahan musim panas pada tahun kerbau”. Entah apa yang mendasari, masyarakat Jepang sejak saat itu percaya bahwa agar dapat bertahan pada musim panas, mereka harus makan makanan yang berawalan huruf “U”. Hasilnya, restoran si pengusaha menjadi ramai dan sejak saat itulah orang Jepang senang makan unagi di musim panas.