冠婚葬祭
Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang, dan bertetangga dengan Republik Rakyat Cina, Korea Utara, Korea Selatan, dan Rusia. Pulau-pulau paling utara berada di Laut Okhotsk dan wilayah paling selatan berupa kelompok pulau-pulau kecil di Laut Cina Timur, tepatnya di sebelah selatan Okinawa yang bertetangga dengan Taiwan.
Jepang merupakan negara yang dijuluki Negara Matahari Terbit dan Negeri Sakura. Dikatakan demikian karena di Jepang mayoritas penduduknya beragama Shintou yang menyembah matahari sehingga disebut Negara Matahari Terbit. Sedangkan julukan Negeri Sakura diberikan karena banyak bunga sakura yang tumbuh di tanah Jepang. Bahkan untuk menyambut musim semi (haru), orang Jepang mempunyai suatu tradisi yang biasa disebut hanami (perayaan melihat bunga sakura) sebagai simbol kebahagiaan karena datangnya musim semi.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa setiap budaya di Jepang memiliki arti atau makna tersendiri. Berbagai budaya tersebut juga dibedakan berdasarkan musim yang ada disana. Budaya menarik lainnya yang tidak ketinggalan untuk dibahas yaitu budaya yang berupa upacara-upacara tradisional, baik yang ditujukan untuk para Dewa, para leluhur, dan sebagainya. Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai upacara tradisional Jepang yang dikenal dengan sebutan “kankonsousai”.
Ganpuku/Genpuku ( 元服 )
Genpuku secara etimologi berasal dari dua kata yaitu “gen” yang berrati “kepala” dan “fuku” yang berarti “memakai”. Sedangkan secara harfiah dapat diartikan sebagai “pakaian pertama”. Di Jepang, Genpuku adalah sebuah perayaan yang menunjukkan seorang samurai dianggap dewasa. Umur bagi seorang samurai untuk dianggap dewasa bervariasi antara umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Setelah mencapai usia ini, pria biasanya mengubah nama mereka dari nama-nama lahir mereka ke nama dewasa. Selain itu mereka juga mengubah gaya rambut mereka dengan gaya rambut orang dewasa yang oleh pencukur rambut dipegang di bagian ubun-ubun. Pada usia ini, hak untuk merokok, minum, serta hak suara diberikan kepada mereka.
Mereka juga menerima pedang pertama mereka dan mulai diperlakukan sebagai orang dewasa misalnya dengan memisahkan mereka dari ibu ataupun pengasuh mereka. Beberapa dari mereka bahkan ada yang diberi wilayah untuk kemudian diperintah. Tidak seorang samurai pun diijinkan untuk menikah sebelum Genpuku. Pada beberapa kesempatan, Genpuku diadakan untuk seseorang yang lebih muda dari usia 12 tahun untuk tujuan pernikahan. Pernikahan pada usia ini adalah untuk kepentingan politik. Tidak ada Genpuku atau upacara yang setara bagi perempuan.
Genpuku adalah waktu ketika orang-orang muda secara formal berperan sebagai orang dewasa. Hal ini hanya sebuah konvensi umum, seperti di negara modern atau bisa menjadi siklus ritual seperti yang dipraktekkan di masa lalu oleh semua masyarakat dan di masa sekarang oleh kelompok-kelompok tradisional. Usia dimana transisi ini mengambil tempat bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain. Di masa lalu dikaitkan dengan usia kematangan seksual (pertengahan masa remaja), sedangkan konvensi hukum modern lebih cenderung untuk memilih titik pada akhir masa remaja atau kedewasaan awal (paling sering pada usia 18 dan 21 tahun).
Upacara ini juga dikenal sebagai kakan, uikouburi, kanrei, shufuku, dan hatsu motoyui. Pada Jaman Heian upacara dibatasi untuk anak-anak bangsawan dan keluarga samurai. Namun selama Jaman Muromachi, secara bertahap menyebar ke kalangan masyarakat yang lebih rendah. Upacara Genpuku ini sering disebut-sebut sebagai “Mogi” yaitu upacara serupa (upacara kedatangan usia) yang kadang-kadang dilakukan untuk anak perempuan dimana mereka juga akan diberikan pakaian baru seperti yang digunakan orang dewasa.
genpuku
Dewasa ini, Genpuku dan Mogi telah digantikan oleh Seijin Shiki yaitu upacara yang berlagsung setiap tahun pada hari Senin minggu kedua bulan Januari. Upacara ini diadakan untuk pria dan wanita yang berusia 20 tahun di Jepang. Selain itu ada pula upacara sejenis yaitu upacara yang diadakan di sekolah bagi siswa yang telah berusia 15 tahun yang disebut dengan “Risshi Shiki” yang secara harfiah berarti “berdiri untuk harapan” dimana pada saat itu anak-anak berdiri di depan sekolah dan menyatakan cita-cita mereka di masa depan.
Konrei ( 婚礼 )
Di setiap negara mengakui sucinya pernikahan melalui upacara pernikahan. Tradisi pernikahan di suatu negara mungkin terlihat sangat asing bagi masyarakat di negara lain. Walaupun ada banyak cara untuk merayakan sebuah pernikahan di Jepang, namun kebanyakan pasangan mengikuti ritual tradisi Shinto. Shinto adalah kepercayaan tradisional masyarakat Jepang dan merupakan agama yang paling populer di Jepang di samping agama Budha. Di Jepang sendiri saat ini terdapat dua jenis upacara pernikahan yaitu ala Barat (Kirisuto Kyoushiki) dan ala Shinto (Shinzen Kekkonshiki). Tidak jarang pula adat pernikahan bergaya Barat seperti ritual pemotongan kue, pertukaran cincin, dan bulan madu dipadukan dengan adat tradisional Jepang.
Upacara pernikahan Shinto sifatnya sangat pribadi, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Seringkali diadakan di sebuah tempat suci atau altar suci yang dipimpin oleh pendeta Shinto. Banyak hotel dan restoran yang kini dilengkapi dengan sebuah ruangan khusus untuk upacara pernikahan. Selama hari-hari baik tertentu dalam kalender Jepang, sangat lumrah untuk melihat lusinan pasangan mengikat janji dalam pernikahan Jepang di tempat suci Shinto.
Di awal upacara pernikahan, pasangan dimurnikan oleh pendeta Shinto. Kemudian pasangan berpartisipasi dalam sebuah ritual yang dinamakan “San sakudo”. Selama ritual ini, mempelai perempuan dan pria bergiliran menghirup sake, masing-masing menghirup sembilan kali dari tiga cangkir yang disediakan. Saat mempelai perempuan dan pria mengucap janji, keluarga mereka saling berhadapan (umumnya kedua mempelai yang saling berhadapan). Setelah itu, anggota keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai saling bergantian minum sake, menandakan persatuan atau ikatan melalui pernikahan.
Upacara ditutup dengan mengeluarkan sesaji berupa ranting Sakaki (sejenis pohon keramat) yang ditujukan kepada Dewa Shinto. Tujuan kebanyakan ritual Shinto adalah untuk mengusir roh-roh jahat dengan cara pembersihan, doa dan persembahan kepada Dewa. Prosesi singkat ini sederhana dalam pelaksanaannya namun sungguh-sungguh khidmat. Maknanya untuk memperkuat janji pernikahan dan mengikat pernikahan fisik kedua mempelai secara rohani. Apabila sepasang mempelai Jepang ingin melaksanakan pernikahan tradisional Jepang yang murni, maka kulit sang mempelai perempuan akan dicat putih dari kepala hingga ujung kaki yang melambangkan kesucian dan dengan nyata menyatakan status kesuciannya di hadapan para dewa.
Mempelai perempuan umumnya akan menggunakan dua penutup kepala yang berbeda. Pertama adalah penutup kepala (sebenarnya penutup dahi) pernikahan berwarna putih yang disebut “tsuni kakushi” yang secara harfiah berarti “menyembunyikan tanduk”. Tutup kepala ini dipenuhi dengan ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya dimana mempelai perempuan mengenakannya sebagai tudung untuk menyembunyikan “tanduk kecemburuan”, keakuan dan egoisme dari ibu mertua yang sekarang akan menjadi kepala keluarga.
Masyarakat Jepang percaya bahwa cacat karakter seperti ini perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai pria dan keluarganya. Penutup kepala yang ditempelkan pada kimono putih mempelai perempuan, juga melambangkan ketetapan hatinya untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesediannya untuk melaksanakan perannya dengan kesabaran dan ketenangan. Sebagai tambahan, merupakan kepercayaan tradisional bahwa rambut dibiarkan tidak dibersihkan, sehingga umum bagi orang yang mengenakan hiasan kepala untuk menyembunyikan rambutnya.
Hiasan kepala tradisional lain yang digunakan mempelai perempuan adalah “wata boushi”. Menurut adat, wajah mempelai perempuan benar-benar tersembunyi dari siapapun kecuali mempelai pria. Hal ini menunjukkan kesopanan, yang sekaligus mencerminkan kualitas kebijakan yang paling dihargai dalam pribadi perempuan. Mempelai pria cukup mengenakan kimono berwarna hitam beserta hakama pada upacara pernikahan. Ibu sang mempelai perempuan menyerahkan anak perempuannya dengan menurunkan tudung sang anak, namun ayah dari mempelai perempuan mengikuti tradisi berjalan mengiringi anak perempuannya menuju altar seperti yang dilakukan para ayah orang Barat.
Seperti umumnya di Indonesia, para tamu yang diundang pada pesta pernikahan di Jepang, perlu membawa uang sumbangan dalam dompet mereka. Hal ini karena mereka diharapkan memberikan pasangan “goshugi” atau uang pemberian yang dimasukkan dalam amplop, yang dapat diberikan baik sebelum atau sesudah upacara pernikahan. Di akhir resepsi pernikahan, tandamata atau “hikidemono” seperti permen, peralatan makan, atau pernak-pernik pernikahan, diletakkan dalam sebuah tas dan diberikan kepada para tamu untuk dibawa pulang.
Soushiki ( 葬式 )
Soushiki merupakan istilah untuk menyebut upacara pemakaman di Jepang yang meliputi masa semayam jenazah, kremasi, penguburan, serta layananan memorial secara berkala. Walaupun kebanyakan penduduk Jepang memeluk agama Shinto, namun hampir 90% Soushiki dilakukan menurut cara Budha. Soushiki ini sendiri berlangsung dua hari penuh yang terdiri dari tsuya dan kokubetsu shiki yang pada jaman dulu lebih banyak dilangsungkan di rumah yang berduka, namun kini telah banyak dilakukan di gedung yang khusus disewa untuk tempat duka.
Soushiki dimulai dengan upacara “matsugo no mizu” yaitu berupa pembasahan bibir jenazah menggunakan air setelah jenazah dimasukkan dalam peti mati. Selanjutnya ada proses yang disebut “kamidana fuji” dimana jenazah dimasukkan ke dalam ruangan tertutup kertas putih, yang dipercaya untuk mencegah arwah tidak suci masuk ke dalam.
Sebelum proses semayam, jenazah dimandikan dan ditutup lubang telinga dan hidungnya menggunakan kapas. Jenazah kemudian diberi pakaian berupa setelan jas (untuk pria) atau kimono (untuk wanita) dan kadang-kadang juga diberi make up. Setelah itu jenazah dibaringkan di dalam peti mati berisi es kering beserta dengan sebuah kimono putih, sendal, 6 keping koin yang dipercaya akan digunakan almarhum untuk melintasi sungai 3 neraka, dan benda yang bisa terbakar serta barang yang disukai almarhum selama masih hidup, seperti permen atau rokok. Peti mati kemudian diletakkan di altar untuk disemayamkan dengan aturan posisi kepala menghadap utara (kita makura), atau alternatif kedua menghadap barat. Di sebelah peti mati diletakkan meja kecil yang dihiasi bunga dan lilin.
Selama proses semayam, pihak keluarga almarhum memberitahukan kabar duka pada semua kerabat dan rekan almarhum agar bisa memberikan penghormatan terakhir. Tapi ada satu hari yang harus dihindari pada upacara pemakaman, yang dikenal dengan sebutan “tomobiki” yaitu suatu hari yang baik untuk melaksanakan pernikahan. Pada hari tomobiki tidak ada akan ada orang yang mau datang ke upacara pemakaman karena menurut tahayul siapapun yang datang akan dibawa serta almarhum ikut ke dunia akhirat.
Para tamu yang ingin mengucapkan duka cita pada keluarga almarhum umumnya mengenakan pakaian berwarna hitam dan dilarang keras memakai perhiasan. Pria biasanya mengenakan kemeja putih dipadukan dengan jas dan dasi hitam, sedangkan wanita mengenakan kimono atau pakaian serba hitam. Selain itu pelayat juga diharuskan memakai “juzu” yaitu semacam tasbih bagi penganut agama Budha. Setiap tamu yang datang biasanya membawa uang duka (okoden) yang dimasukkan dalam amplop putih berdekorasi pita warna hitam dan perak (koden bukuro). Besarnya uang duka tergantung seberapa dekat hubungannya dengan almarhum dan ekonomi si pemberi. Konon, minimal jumlah uang yang disumbangkan seorang pelayat adalah 10.000 yen per amplop.
Para tamu yang sudah hadir biasanya duduk di kursi yang sudah disediakan dengan posisi berhadapan dengan peti jenazah. Pada saat memasuki ruang tempat jenazah, para pelayat harus membungkukkan badan serta mengucapkan “konodabi wa goshusho sama desu” yang artinya kira-kira menyatakan rasa turut berduka cita dengan suara yang lembut. Kemudian pelayat menuju altar tempat peti jenazah diletakkan untuk memanjatkan doa bagi almarhum. Setelah itu pelayat harus balik badan dan membungkuk kepada tuan rumah atau anggota keluarga yang ditinggalkan.
Setelah tamu yang hadir memenuhi ruangan, pendeta Budha memulai upacara dengan membaca kitab sutra untuk mendoakan jenazah, sementara keluarga jenazah bergantian mendoakan jenazah dengan memegang dupa yang kemudian ditanamkan pada kendi kecil di atas meja altar. Upacara berakhir setelah pendeta selesai membaca kitab, dan para tamu yang pulang akan diberi kenang-kenangan, sedangkan keluarga dekat almarhum menginap di ruangan yang sama dengan peti jenazah.
Pemakaman dilakukan keesokan hari setelah jenazah disemayamkan. Upacara pemakaman tidak terlalu berbeda jauh dengan upacara semayam, hanya saja di sini pendeta Budha menyanyikan kitab sutra. Setelah itu almarhum akan diberikan nama Budha baru yang disebut “kaimyo”. Huruf kanji pada kaimyo yang diambil dari huruf tua dan sudah jarang digunakan sehingga sedikit orang Jepang yang bisa membacanya. Pemberian kaimyo ini bertujuan untuk mencegah arwah almarhum kembali ke jenazah saat namanya dipanggil. Panjangnya nama yang diberikan pada almarhum tergantung besarnya jumlah sumbangan uang yang diberikan keluarga almarhum pada kuil Budha. Setelah upacar erakhir, para tamu disilakan meletakkan bunga ke dalam peti mati sebelum disegel menggunakan paku dan dibawa kereta jenazah menuju krematorium atau kuburan.
Pada proses kremasi, peti berisi jenazah pertama-tama diletakkan di atas penampan untuk didorong masuk ke dalam ruang kremasi disaksikan para anggota keluarga almarhum. Proses kremasi memakan waktu sekitar 2 jam, setelah itu pihak keluarga memisahkan bagian abu dan tulang almarhum. Bagian tulang diambil oleh 2 orang keluarga menggunakan sumpit ke sumpit dan dimasukkan ke dalam guci yang disebut “kotsutsubo”. Tulang tersebut harus diletakkan mulai dari bagian tulang kaki hingga tulang tengkorak. Kadang-kadang ada juga yang membagi abu jenasah dalam beberapa kendi, dengan tujuan agar abunya dapat disimpan di beberapa tempat.
Kotsutsubo ini kemudian akan dibawa ke rumah untuk ditaruh di altar khusus selama 35 hari dengan dupa yang harus terus menyala selama 24 jam. Setelah 35 hari, kotsutsubo kemudian dibawa ke rumah khusus tempat menyimpan abu jenazah. Peringatan terhadap almarhum akan dilakukan biasanya pada hari ke-7, hari ke-49, tahun pertama, tahun ketiga, tahun kelima, tahun ketujuh, tahun ke-13, dan terakhir tahun ke-50.
Setelah upacara pemakaman selesai, para pelayat biasanya akan menerima sekotak teh hijau serta kartu ucapan terima kasih dari pihak keluarga yang berduka. Konon di masa lampau saat upacara pemakaman juga dilangsungkan upacara minum teh. Namun sekarang sedikit diubah dengan kebiasaan membagi daun teh dengan alasan kepraktisan. Bagi amsyarakat Jepang, teh merupakan bagian sakral dalam upacara-upacara agama Budha dan Shinto. Konon Budha sendiri gemar minum teh.
Di Jepang kuburan keluarga (haka) umumnya terdiri dari monumen batu nisan dengan ruang kecil tempat menyimpan bunga dan dupa. Di depan batu nisan terdapat tempat air dan sebuah ruang bawah tanah untuk menyimpan abu. Nama almarhum biasanya diukir di depan atau sebelah kiri monumen nisan, sedangkan di sebelahnya diukir tanggal digalinya kuburan dan orang yang membeli kuburan tersebut. Kadang-kadang nama suami atau istri almarhum yang masih hidup juga diukir pada batu nisan, namun dengan tinta berwarna merah yang akan dihapus setelah yang bersangkutan meninggal dan dikubur di tempat yang sama.
Hal ini dimaksudkan agar biaya penguburan lebih murah, selain itu memberi kesan kalau sang pasangan hidup sudah siap untuk mengikuti almarhum. Selain di batu nisan, nama almarhum sering juga ditulis di “sotoba” yaitu sebuah papan kayu yang ditanamkan di depan atau belakang kuburan. Beberapa kuburan juga memiliki tempat kartu nama yang bisa digunakan rekan almarhum, sebagai tanda kalau yang bersangkutan telah mengunjungi kuburan itu.
kuburan keluarga (haka)
Upacara pemakaman di Jepang memakan biaya sangar besar. Bila digabungkan mulai dari upacara pemakaman hingga penguburan, seluruhnya rata-rata menghabiskan biaya sebesar 4 juta yen (sekitar kurang lebih 400 juta rupiah), yang merupakan upacara pemakaman termahal di dunia. Penyebab utama mahalnya harga tersebut disebabkan karena orang Jepang tidak mau bernegosiasi dengan pihak perusahaan jasa pemakaman karena alasan gengsi tidak ingin dianggap perhitungan pada keluarganya. Karena itu banyak pengusaha jasa pemakaman memanfaatkan kesempatan dengan memasang harga tinggi berkerjasama dengan pihak penjual bunga, pendeta kuil, dan lain-lain. Selain itu semakin terbatasnya lahan untuk kuburan membuat harga tanah makin mahal, bahkan di beberapa kota besar seperti di Tokyo sudah tidak ada lagi tempat yang bisa dijadikan kuburan.
Sosen no Sairei ( 祖先 の 祭礼 )
Sosen no Sairei sebenarnya merupakan sebuah upacara pemujaan bagi arwah leluhur. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Sosen no Sairei ini adalah Bon. Bon atau yang juga dikenal dengan sebutan Obon adalah serangkaian upacara untuk merayakan kedatangan arwah leluhur yang dilakukan sekitar tanggal 15 Juli menurut Kalender Lunisolar. Pada tanggal 13 Juli 1873 pemerintah daerah Yamanashi Ken dan Niigata Ken sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut Kalender Lunisolar. Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli semakin sedikit. Umumnya orang Jepang merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus sesuai dengan Kalender Gregorian.
Pada umumnya, Obon dikenal sebagai upacara yang berkaitan dengan agama Budha Jepang, tetapi banyak sekali tradisi dalam perayaan Obon yang tidak bisa dijelaskan dengan dogma agama Budha. Obon dalam bentuk seperti sekarang ini merupakan sinkretisme dari tradisi turun temurun masyarakat Jepang dengan upacara agama Budha yang disebut “Urabon”.
Obon sendiri merupakan bentuk singkat dari istilah agama Budha Urabon yang hanya diambil aksara Kanji terakhirnya saja yaitu “bon” ditambah awalan honorifik huruf “O”. Pada mulanya, Obon berarti “meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para arwah”. Selanjutnya Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal (shourou) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan barang-barang persembahan.
Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam.
mukaebi
Orang Jepang percaya bahwa arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut “mukaebi” untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi pemukiman, orang jaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan leluhur. Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama Budha dipanggil untuk membacakan “sutra” bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Budha sewaktu Obon disebut “tanagyou” karena dibacakan di depan altar berisi barang persembahan yang disebut “shouroudana” atau “tana”. Pada tanggal 16 Agustus arwah leluhur kembali pulang ke alam sana dengan diterangi api yang disebut “okuribi”.
Bon Odori
Acara menari bersama yang disebut “Bon Odori” dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Budha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di neraka. Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas yang diadakan di Jepang
Jepang merupakan negara yang dijuluki Negara Matahari Terbit dan Negeri Sakura. Dikatakan demikian karena di Jepang mayoritas penduduknya beragama Shintou yang menyembah matahari sehingga disebut Negara Matahari Terbit. Sedangkan julukan Negeri Sakura diberikan karena banyak bunga sakura yang tumbuh di tanah Jepang. Bahkan untuk menyambut musim semi (haru), orang Jepang mempunyai suatu tradisi yang biasa disebut hanami (perayaan melihat bunga sakura) sebagai simbol kebahagiaan karena datangnya musim semi.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa setiap budaya di Jepang memiliki arti atau makna tersendiri. Berbagai budaya tersebut juga dibedakan berdasarkan musim yang ada disana. Budaya menarik lainnya yang tidak ketinggalan untuk dibahas yaitu budaya yang berupa upacara-upacara tradisional, baik yang ditujukan untuk para Dewa, para leluhur, dan sebagainya. Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai upacara tradisional Jepang yang dikenal dengan sebutan “kankonsousai”.
Ganpuku/Genpuku ( 元服 )
Genpuku secara etimologi berasal dari dua kata yaitu “gen” yang berrati “kepala” dan “fuku” yang berarti “memakai”. Sedangkan secara harfiah dapat diartikan sebagai “pakaian pertama”. Di Jepang, Genpuku adalah sebuah perayaan yang menunjukkan seorang samurai dianggap dewasa. Umur bagi seorang samurai untuk dianggap dewasa bervariasi antara umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Setelah mencapai usia ini, pria biasanya mengubah nama mereka dari nama-nama lahir mereka ke nama dewasa. Selain itu mereka juga mengubah gaya rambut mereka dengan gaya rambut orang dewasa yang oleh pencukur rambut dipegang di bagian ubun-ubun. Pada usia ini, hak untuk merokok, minum, serta hak suara diberikan kepada mereka.
Mereka juga menerima pedang pertama mereka dan mulai diperlakukan sebagai orang dewasa misalnya dengan memisahkan mereka dari ibu ataupun pengasuh mereka. Beberapa dari mereka bahkan ada yang diberi wilayah untuk kemudian diperintah. Tidak seorang samurai pun diijinkan untuk menikah sebelum Genpuku. Pada beberapa kesempatan, Genpuku diadakan untuk seseorang yang lebih muda dari usia 12 tahun untuk tujuan pernikahan. Pernikahan pada usia ini adalah untuk kepentingan politik. Tidak ada Genpuku atau upacara yang setara bagi perempuan.
Genpuku adalah waktu ketika orang-orang muda secara formal berperan sebagai orang dewasa. Hal ini hanya sebuah konvensi umum, seperti di negara modern atau bisa menjadi siklus ritual seperti yang dipraktekkan di masa lalu oleh semua masyarakat dan di masa sekarang oleh kelompok-kelompok tradisional. Usia dimana transisi ini mengambil tempat bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain. Di masa lalu dikaitkan dengan usia kematangan seksual (pertengahan masa remaja), sedangkan konvensi hukum modern lebih cenderung untuk memilih titik pada akhir masa remaja atau kedewasaan awal (paling sering pada usia 18 dan 21 tahun).
Upacara ini juga dikenal sebagai kakan, uikouburi, kanrei, shufuku, dan hatsu motoyui. Pada Jaman Heian upacara dibatasi untuk anak-anak bangsawan dan keluarga samurai. Namun selama Jaman Muromachi, secara bertahap menyebar ke kalangan masyarakat yang lebih rendah. Upacara Genpuku ini sering disebut-sebut sebagai “Mogi” yaitu upacara serupa (upacara kedatangan usia) yang kadang-kadang dilakukan untuk anak perempuan dimana mereka juga akan diberikan pakaian baru seperti yang digunakan orang dewasa.
genpuku
Dewasa ini, Genpuku dan Mogi telah digantikan oleh Seijin Shiki yaitu upacara yang berlagsung setiap tahun pada hari Senin minggu kedua bulan Januari. Upacara ini diadakan untuk pria dan wanita yang berusia 20 tahun di Jepang. Selain itu ada pula upacara sejenis yaitu upacara yang diadakan di sekolah bagi siswa yang telah berusia 15 tahun yang disebut dengan “Risshi Shiki” yang secara harfiah berarti “berdiri untuk harapan” dimana pada saat itu anak-anak berdiri di depan sekolah dan menyatakan cita-cita mereka di masa depan.
Konrei ( 婚礼 )
Di setiap negara mengakui sucinya pernikahan melalui upacara pernikahan. Tradisi pernikahan di suatu negara mungkin terlihat sangat asing bagi masyarakat di negara lain. Walaupun ada banyak cara untuk merayakan sebuah pernikahan di Jepang, namun kebanyakan pasangan mengikuti ritual tradisi Shinto. Shinto adalah kepercayaan tradisional masyarakat Jepang dan merupakan agama yang paling populer di Jepang di samping agama Budha. Di Jepang sendiri saat ini terdapat dua jenis upacara pernikahan yaitu ala Barat (Kirisuto Kyoushiki) dan ala Shinto (Shinzen Kekkonshiki). Tidak jarang pula adat pernikahan bergaya Barat seperti ritual pemotongan kue, pertukaran cincin, dan bulan madu dipadukan dengan adat tradisional Jepang.
Upacara pernikahan Shinto sifatnya sangat pribadi, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Seringkali diadakan di sebuah tempat suci atau altar suci yang dipimpin oleh pendeta Shinto. Banyak hotel dan restoran yang kini dilengkapi dengan sebuah ruangan khusus untuk upacara pernikahan. Selama hari-hari baik tertentu dalam kalender Jepang, sangat lumrah untuk melihat lusinan pasangan mengikat janji dalam pernikahan Jepang di tempat suci Shinto.
Di awal upacara pernikahan, pasangan dimurnikan oleh pendeta Shinto. Kemudian pasangan berpartisipasi dalam sebuah ritual yang dinamakan “San sakudo”. Selama ritual ini, mempelai perempuan dan pria bergiliran menghirup sake, masing-masing menghirup sembilan kali dari tiga cangkir yang disediakan. Saat mempelai perempuan dan pria mengucap janji, keluarga mereka saling berhadapan (umumnya kedua mempelai yang saling berhadapan). Setelah itu, anggota keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai saling bergantian minum sake, menandakan persatuan atau ikatan melalui pernikahan.
Upacara ditutup dengan mengeluarkan sesaji berupa ranting Sakaki (sejenis pohon keramat) yang ditujukan kepada Dewa Shinto. Tujuan kebanyakan ritual Shinto adalah untuk mengusir roh-roh jahat dengan cara pembersihan, doa dan persembahan kepada Dewa. Prosesi singkat ini sederhana dalam pelaksanaannya namun sungguh-sungguh khidmat. Maknanya untuk memperkuat janji pernikahan dan mengikat pernikahan fisik kedua mempelai secara rohani. Apabila sepasang mempelai Jepang ingin melaksanakan pernikahan tradisional Jepang yang murni, maka kulit sang mempelai perempuan akan dicat putih dari kepala hingga ujung kaki yang melambangkan kesucian dan dengan nyata menyatakan status kesuciannya di hadapan para dewa.
Mempelai perempuan umumnya akan menggunakan dua penutup kepala yang berbeda. Pertama adalah penutup kepala (sebenarnya penutup dahi) pernikahan berwarna putih yang disebut “tsuni kakushi” yang secara harfiah berarti “menyembunyikan tanduk”. Tutup kepala ini dipenuhi dengan ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya dimana mempelai perempuan mengenakannya sebagai tudung untuk menyembunyikan “tanduk kecemburuan”, keakuan dan egoisme dari ibu mertua yang sekarang akan menjadi kepala keluarga.
Masyarakat Jepang percaya bahwa cacat karakter seperti ini perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai pria dan keluarganya. Penutup kepala yang ditempelkan pada kimono putih mempelai perempuan, juga melambangkan ketetapan hatinya untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesediannya untuk melaksanakan perannya dengan kesabaran dan ketenangan. Sebagai tambahan, merupakan kepercayaan tradisional bahwa rambut dibiarkan tidak dibersihkan, sehingga umum bagi orang yang mengenakan hiasan kepala untuk menyembunyikan rambutnya.
Hiasan kepala tradisional lain yang digunakan mempelai perempuan adalah “wata boushi”. Menurut adat, wajah mempelai perempuan benar-benar tersembunyi dari siapapun kecuali mempelai pria. Hal ini menunjukkan kesopanan, yang sekaligus mencerminkan kualitas kebijakan yang paling dihargai dalam pribadi perempuan. Mempelai pria cukup mengenakan kimono berwarna hitam beserta hakama pada upacara pernikahan. Ibu sang mempelai perempuan menyerahkan anak perempuannya dengan menurunkan tudung sang anak, namun ayah dari mempelai perempuan mengikuti tradisi berjalan mengiringi anak perempuannya menuju altar seperti yang dilakukan para ayah orang Barat.
Seperti umumnya di Indonesia, para tamu yang diundang pada pesta pernikahan di Jepang, perlu membawa uang sumbangan dalam dompet mereka. Hal ini karena mereka diharapkan memberikan pasangan “goshugi” atau uang pemberian yang dimasukkan dalam amplop, yang dapat diberikan baik sebelum atau sesudah upacara pernikahan. Di akhir resepsi pernikahan, tandamata atau “hikidemono” seperti permen, peralatan makan, atau pernak-pernik pernikahan, diletakkan dalam sebuah tas dan diberikan kepada para tamu untuk dibawa pulang.
Soushiki ( 葬式 )
Soushiki merupakan istilah untuk menyebut upacara pemakaman di Jepang yang meliputi masa semayam jenazah, kremasi, penguburan, serta layananan memorial secara berkala. Walaupun kebanyakan penduduk Jepang memeluk agama Shinto, namun hampir 90% Soushiki dilakukan menurut cara Budha. Soushiki ini sendiri berlangsung dua hari penuh yang terdiri dari tsuya dan kokubetsu shiki yang pada jaman dulu lebih banyak dilangsungkan di rumah yang berduka, namun kini telah banyak dilakukan di gedung yang khusus disewa untuk tempat duka.
Soushiki dimulai dengan upacara “matsugo no mizu” yaitu berupa pembasahan bibir jenazah menggunakan air setelah jenazah dimasukkan dalam peti mati. Selanjutnya ada proses yang disebut “kamidana fuji” dimana jenazah dimasukkan ke dalam ruangan tertutup kertas putih, yang dipercaya untuk mencegah arwah tidak suci masuk ke dalam.
Sebelum proses semayam, jenazah dimandikan dan ditutup lubang telinga dan hidungnya menggunakan kapas. Jenazah kemudian diberi pakaian berupa setelan jas (untuk pria) atau kimono (untuk wanita) dan kadang-kadang juga diberi make up. Setelah itu jenazah dibaringkan di dalam peti mati berisi es kering beserta dengan sebuah kimono putih, sendal, 6 keping koin yang dipercaya akan digunakan almarhum untuk melintasi sungai 3 neraka, dan benda yang bisa terbakar serta barang yang disukai almarhum selama masih hidup, seperti permen atau rokok. Peti mati kemudian diletakkan di altar untuk disemayamkan dengan aturan posisi kepala menghadap utara (kita makura), atau alternatif kedua menghadap barat. Di sebelah peti mati diletakkan meja kecil yang dihiasi bunga dan lilin.
Selama proses semayam, pihak keluarga almarhum memberitahukan kabar duka pada semua kerabat dan rekan almarhum agar bisa memberikan penghormatan terakhir. Tapi ada satu hari yang harus dihindari pada upacara pemakaman, yang dikenal dengan sebutan “tomobiki” yaitu suatu hari yang baik untuk melaksanakan pernikahan. Pada hari tomobiki tidak ada akan ada orang yang mau datang ke upacara pemakaman karena menurut tahayul siapapun yang datang akan dibawa serta almarhum ikut ke dunia akhirat.
Para tamu yang ingin mengucapkan duka cita pada keluarga almarhum umumnya mengenakan pakaian berwarna hitam dan dilarang keras memakai perhiasan. Pria biasanya mengenakan kemeja putih dipadukan dengan jas dan dasi hitam, sedangkan wanita mengenakan kimono atau pakaian serba hitam. Selain itu pelayat juga diharuskan memakai “juzu” yaitu semacam tasbih bagi penganut agama Budha. Setiap tamu yang datang biasanya membawa uang duka (okoden) yang dimasukkan dalam amplop putih berdekorasi pita warna hitam dan perak (koden bukuro). Besarnya uang duka tergantung seberapa dekat hubungannya dengan almarhum dan ekonomi si pemberi. Konon, minimal jumlah uang yang disumbangkan seorang pelayat adalah 10.000 yen per amplop.
Para tamu yang sudah hadir biasanya duduk di kursi yang sudah disediakan dengan posisi berhadapan dengan peti jenazah. Pada saat memasuki ruang tempat jenazah, para pelayat harus membungkukkan badan serta mengucapkan “konodabi wa goshusho sama desu” yang artinya kira-kira menyatakan rasa turut berduka cita dengan suara yang lembut. Kemudian pelayat menuju altar tempat peti jenazah diletakkan untuk memanjatkan doa bagi almarhum. Setelah itu pelayat harus balik badan dan membungkuk kepada tuan rumah atau anggota keluarga yang ditinggalkan.
Setelah tamu yang hadir memenuhi ruangan, pendeta Budha memulai upacara dengan membaca kitab sutra untuk mendoakan jenazah, sementara keluarga jenazah bergantian mendoakan jenazah dengan memegang dupa yang kemudian ditanamkan pada kendi kecil di atas meja altar. Upacara berakhir setelah pendeta selesai membaca kitab, dan para tamu yang pulang akan diberi kenang-kenangan, sedangkan keluarga dekat almarhum menginap di ruangan yang sama dengan peti jenazah.
Pemakaman dilakukan keesokan hari setelah jenazah disemayamkan. Upacara pemakaman tidak terlalu berbeda jauh dengan upacara semayam, hanya saja di sini pendeta Budha menyanyikan kitab sutra. Setelah itu almarhum akan diberikan nama Budha baru yang disebut “kaimyo”. Huruf kanji pada kaimyo yang diambil dari huruf tua dan sudah jarang digunakan sehingga sedikit orang Jepang yang bisa membacanya. Pemberian kaimyo ini bertujuan untuk mencegah arwah almarhum kembali ke jenazah saat namanya dipanggil. Panjangnya nama yang diberikan pada almarhum tergantung besarnya jumlah sumbangan uang yang diberikan keluarga almarhum pada kuil Budha. Setelah upacar erakhir, para tamu disilakan meletakkan bunga ke dalam peti mati sebelum disegel menggunakan paku dan dibawa kereta jenazah menuju krematorium atau kuburan.
Pada proses kremasi, peti berisi jenazah pertama-tama diletakkan di atas penampan untuk didorong masuk ke dalam ruang kremasi disaksikan para anggota keluarga almarhum. Proses kremasi memakan waktu sekitar 2 jam, setelah itu pihak keluarga memisahkan bagian abu dan tulang almarhum. Bagian tulang diambil oleh 2 orang keluarga menggunakan sumpit ke sumpit dan dimasukkan ke dalam guci yang disebut “kotsutsubo”. Tulang tersebut harus diletakkan mulai dari bagian tulang kaki hingga tulang tengkorak. Kadang-kadang ada juga yang membagi abu jenasah dalam beberapa kendi, dengan tujuan agar abunya dapat disimpan di beberapa tempat.
Kotsutsubo ini kemudian akan dibawa ke rumah untuk ditaruh di altar khusus selama 35 hari dengan dupa yang harus terus menyala selama 24 jam. Setelah 35 hari, kotsutsubo kemudian dibawa ke rumah khusus tempat menyimpan abu jenazah. Peringatan terhadap almarhum akan dilakukan biasanya pada hari ke-7, hari ke-49, tahun pertama, tahun ketiga, tahun kelima, tahun ketujuh, tahun ke-13, dan terakhir tahun ke-50.
Setelah upacara pemakaman selesai, para pelayat biasanya akan menerima sekotak teh hijau serta kartu ucapan terima kasih dari pihak keluarga yang berduka. Konon di masa lampau saat upacara pemakaman juga dilangsungkan upacara minum teh. Namun sekarang sedikit diubah dengan kebiasaan membagi daun teh dengan alasan kepraktisan. Bagi amsyarakat Jepang, teh merupakan bagian sakral dalam upacara-upacara agama Budha dan Shinto. Konon Budha sendiri gemar minum teh.
Di Jepang kuburan keluarga (haka) umumnya terdiri dari monumen batu nisan dengan ruang kecil tempat menyimpan bunga dan dupa. Di depan batu nisan terdapat tempat air dan sebuah ruang bawah tanah untuk menyimpan abu. Nama almarhum biasanya diukir di depan atau sebelah kiri monumen nisan, sedangkan di sebelahnya diukir tanggal digalinya kuburan dan orang yang membeli kuburan tersebut. Kadang-kadang nama suami atau istri almarhum yang masih hidup juga diukir pada batu nisan, namun dengan tinta berwarna merah yang akan dihapus setelah yang bersangkutan meninggal dan dikubur di tempat yang sama.
Hal ini dimaksudkan agar biaya penguburan lebih murah, selain itu memberi kesan kalau sang pasangan hidup sudah siap untuk mengikuti almarhum. Selain di batu nisan, nama almarhum sering juga ditulis di “sotoba” yaitu sebuah papan kayu yang ditanamkan di depan atau belakang kuburan. Beberapa kuburan juga memiliki tempat kartu nama yang bisa digunakan rekan almarhum, sebagai tanda kalau yang bersangkutan telah mengunjungi kuburan itu.
kuburan keluarga (haka)
Upacara pemakaman di Jepang memakan biaya sangar besar. Bila digabungkan mulai dari upacara pemakaman hingga penguburan, seluruhnya rata-rata menghabiskan biaya sebesar 4 juta yen (sekitar kurang lebih 400 juta rupiah), yang merupakan upacara pemakaman termahal di dunia. Penyebab utama mahalnya harga tersebut disebabkan karena orang Jepang tidak mau bernegosiasi dengan pihak perusahaan jasa pemakaman karena alasan gengsi tidak ingin dianggap perhitungan pada keluarganya. Karena itu banyak pengusaha jasa pemakaman memanfaatkan kesempatan dengan memasang harga tinggi berkerjasama dengan pihak penjual bunga, pendeta kuil, dan lain-lain. Selain itu semakin terbatasnya lahan untuk kuburan membuat harga tanah makin mahal, bahkan di beberapa kota besar seperti di Tokyo sudah tidak ada lagi tempat yang bisa dijadikan kuburan.
Sosen no Sairei ( 祖先 の 祭礼 )
Sosen no Sairei sebenarnya merupakan sebuah upacara pemujaan bagi arwah leluhur. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Sosen no Sairei ini adalah Bon. Bon atau yang juga dikenal dengan sebutan Obon adalah serangkaian upacara untuk merayakan kedatangan arwah leluhur yang dilakukan sekitar tanggal 15 Juli menurut Kalender Lunisolar. Pada tanggal 13 Juli 1873 pemerintah daerah Yamanashi Ken dan Niigata Ken sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut Kalender Lunisolar. Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli semakin sedikit. Umumnya orang Jepang merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus sesuai dengan Kalender Gregorian.
Pada umumnya, Obon dikenal sebagai upacara yang berkaitan dengan agama Budha Jepang, tetapi banyak sekali tradisi dalam perayaan Obon yang tidak bisa dijelaskan dengan dogma agama Budha. Obon dalam bentuk seperti sekarang ini merupakan sinkretisme dari tradisi turun temurun masyarakat Jepang dengan upacara agama Budha yang disebut “Urabon”.
Obon sendiri merupakan bentuk singkat dari istilah agama Budha Urabon yang hanya diambil aksara Kanji terakhirnya saja yaitu “bon” ditambah awalan honorifik huruf “O”. Pada mulanya, Obon berarti “meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para arwah”. Selanjutnya Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal (shourou) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan barang-barang persembahan.
Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam.
mukaebi
Orang Jepang percaya bahwa arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut “mukaebi” untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi pemukiman, orang jaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan leluhur. Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama Budha dipanggil untuk membacakan “sutra” bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Budha sewaktu Obon disebut “tanagyou” karena dibacakan di depan altar berisi barang persembahan yang disebut “shouroudana” atau “tana”. Pada tanggal 16 Agustus arwah leluhur kembali pulang ke alam sana dengan diterangi api yang disebut “okuribi”.
Bon Odori
Acara menari bersama yang disebut “Bon Odori” dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Budha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di neraka. Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas yang diadakan di Jepang