NOH
Makna dan Konsep Drama Noh Kyougen berdasarkan sejarahnya drama Noh dan Kyougen (Nohgaku) lahir pada zaman Chuusei antara tahun 1350-1450, dan merupakan drama yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat (Yoshinobu Inoura, 1971:11-13). Menurut pendapat Isoji Asoo, drama Noh dan Kyogen berbeda, menurutnya drama Noh memliki sifat yang agung, simbolik, dan penuh khayalan, sedangkan Kyougen bersifat ringan, jenaka serta menggambarkan kejadian-kejadian yang hangat terjadi dalam masyarakat. Dengan kata lain, drama Noh menonjolkan suatu kehalusan dan keindahan, sedangkan Kyougen sangat bersifat kerakyatan yang mengandung unsur-unsur realita. Jika dilihat dari segi makna kanjinya, Noh ditulis dengan huruf (能) artinya bakat/keahlian, sedangkan Kyogen terdiri dari dua huruf kanji yaitu: huruf (狂) artinya gila/kacau, dan huruf (言) artinya kata-kata, jadi (狂言) artinya kata-kata gila/kata-kata yang menyindir.
Kemudian Kyougen ini menjadi sebuah drama komedi yang pertunjukannya diselipkan dalam drama Noh. Sehingga Kyogen tersebut disebut juga dengan istilah Noh Kyogen. Dan drama Kyougen sebagai selingan dalam drama Noh (Noh Kyogen) inilah yang menjadi fokus dari penulisan buku ini. Dan selanjutnya konsep drama yang digunakan atau diacu dalam buku ini adalah konsep drama menurut pendapat dari Yoshinobu Inoura. Drama menurut Yoshinobu Inoura (1971:1) adalah sebagai berikut: ―be it ordinary drama, or masked drama, or puppet drama, all drama expresses man’s spiritual and cultural life directly, impressively and vividly by bodily action. It comport and delight people, stimulates them to think, and purifies their minds. And it reflects man’s life all the better for this.
Drama biasa atau drama bertopeng dan drama boneka kesemuanya, merupakan cara pengungkapan kehidupan spiritual dan kultural umat manusia secara langsung dengan cara yang impresif dan dengan mulus melalui gerakan tubuh. Pada dasarnya drama merupakan hiburan, juga merangsang manusia untuk berpikir dan menjernihkan pikirannya. Dan drama mencerminkan kehidupan manusia dengan cara yang lebih baik daripada cara apapun juga‖ Drama dikatakan mencerminkan kehidupan manusia dengan cara yang lebih baik daripada cara apapun juga, dikatakan demikian karena drama dapat melaksanakan fungsi katarsis. Aristoteles dalam Humar Sahman (1993) mengatakan bahwa drama harus memperlihakan kesatuan (merupakan sokogurunya bentuk dan struktur karya seni). Di dalamnya, tidak boleh ada peristiwa atau adegan yang mengaburkan gambaran tentang kesatuan tersebut. Sebagai kesatuan, drama itu akan dapat melaksanakan fungsi katarsis, yang dapat diartikan sebagai sublimasi atau pembebasan tekanan batin yang antara lain timbul karena adanya tekanan-tekanan sosial. Jika tekanan batin ini tidak dikatarsis, maka akan bisa mengambil bentuk tindakan yang destruktif ataupun asosial. Drama merupakan karya sastra atau karya seni.
Karya seni menurut Kuypers (1977 : 251-254) boleh dipandang sebagai tanda, karena dibuat dengan maksud menyampaikan sesuatu. Dan tanda yang secara wajar dan dengan sendirinya menyampaikan sesuatu adalah lambang atau simbol. Karya seni berkisah tentang pengalaman hidup penciptanya, yang oleh si pengamat yang terpesona dilihat sebagai lambang pengalaman hidup dimaksud. Lambang sebagai tanda bahasa tanda (takental) kedudukanya khas bagi karya seni, sebagai produk seniman yang untuk keperluan itu memanfaatkan bahan atau berbagai bahan yang kemudian ditatanya kembali berdasarkan segi pandang kesenimanannya. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra atau seni sebagai pengalaman. Yang dimaksud pengalaman di sini ialah jawaban (respons) yang utuh dari jiwa manusia ketika kesadarannya besentuhan dengan kenyataan (realita). Disebut utuh karena tiak hanya mleiputi kegiatan pikiran atau nalar, akan tetapi juga kegiatan perasan dan khayal (imajinasi). Yang dimaksud kenyataan (realitas) ialah sesuatu yang dapat merangsang atau menyentuh kesadaran manusia, baik itu yang ada di dalam dirinya maupun yang ada di luar dirinya. Gagasan-gagasan, perasaan-perasan, dan gambaran-gambaran khayali (citra) yang muncul dalam kesadaran seseorang dapat menjadi sasaran pemikiran, perasaan dari pengkhayalan orang itu, hingga terwujud pengalaman baru. Kenyataan itu dapat pula merupakan sesuatu yang berada di luar diri orang itu, misalnya peristiwa yang disaksikan atau bahkan dialami sendiri, gagasan orang lain, manusia dan benda-benda.
Kesemua itu melalui pancaindra menyentuh kesadaran seseorang dan kalau orang itu memberikan jawaban pikiran, perasaan dan pengkhayalan terhadapnya, maka akan timbullah apa yang disebut pengalaman itu (Jakob Sumardjo dan Saini K.M, 1986 : 10). Secara implisit tanda dianggap sebagai alat komunikasi antara dua orang manusia yang secara sengaja dan bertujuan menyatakan maksud, pesan atau keinginan. Komunikasi terjadi dengan perantaraan tanda-tanda dan komunikasi mementingkan hubungan antara tanda-tanda dengan pengirim dan penerimanya (Panuti Sudjiman dan Art Van Zoest, 1992 : 6). Hal di atas menunjukkan bahwa drama merupakan alat komunikasi, sehingga diantara pemain drama dan penonton terjadi proses komunikasi. Artinya para pemain drama berdialog di atas pentas dengan tujuan menyampaikan pesan cerita kepada audiens atau penonton, dan penonton menerima atau menangkap pesan yang disampaikan oleh para pemain drama tersebut di atas pentas. Charles Pierce dalam Keir Elam (1980:22) mengatakan bahwa dalam proses komunikasi, tanda-tanda bahasa hanya merupakan salah satu kelompok tanda yang digunakan. Kata-kata, kalimat-kalimat dan teks-teks termasuk tanda itu.
Demikian juga Keir Elam sendiri mengatakan bahwa dalam komunikasi dengan menggunakan drama sebagai alatnya bagaimanapun faktor bahasa merupakan masalah penting. Sehingga tugas semiotik drama untuk meneliti fungsi linguistik merupakan suatu yang sangat khas dalam drama. Semiotik menurut Sausure adalah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem -sistem lambang, dan proses-proses perlambangan. Dengan demikian ilmu bahasapun dapat dinamakan ilmu semiotik. Di dalam rangka sebuah sistem lambang kita mengartikan gejala-gejala tertentu (gerak-gerik, kata-kata, kalimat, dan seterusnya) berdasarkan sebuah kaidah atau sejumlah kaidah. Kaidah-kaidah itu merupakan kode, yaitu alas atau dasar mengapa kita mengartikan suatu gejala begini atau begitu, sehingga gejala itu menjadi suatu tanda atau kode. Pada hakekatnya semua tanda atau kode yang berlaku dalam masyarakat merupakan faktor yang potensi di dalam pertunjukkan (sandiwara). Tentu dari kode-kode ini (gerak, linguistik) akan menjadi suatu sistem yang khas, sementara yang lain (kebiasaan secara drama atau sandiwara dan kode budaya umum) akan dapat diterapkan dalam pembicaraan secara drama atau sandiwara yang yang panjang (Keir Elam, 1980:50). Kata-kata dan unsur-unsur kebahasaan pada umumnya, pada prinsipnya semua merupakan simbol.
Oleh karena itu tanda-tanda yang diekspresikan berupa kata dan tanda-tanda kebahasaan adalah simbol. Simbol-simbol berfungsi untuk menghubungkan kenyataan--kenyataan yang dihadapi dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh manusia dengan bentuk-bentuk hubungan simbolik yang secara khusus berlandaskan pada kebudayaan da kehidupan sosial ekonomi. Bila mengikuti pernyataan-pernyataan di atas, pada dasarnya drama Noh Kyogen merupakan alat komunikasi sosial yang secara sengaja menggunakan tanda-tanda bahasa (simbol) seperti: kata-kata, kalimat-kalimat, dan teks-teks untuk menyampaikan maksud, pesan atau keinginan golongan sosial bawah yang berlandaskan pada kebudayaan dan kehidupan sosial. James Peacock dari hasil penelitiannya mengenai ludruk, mengatakan sebagai berikut : ―Ludruk is a rite, a symbolic action. The other is that this symbolic Action has certain social consequences –it encourages the modernization of Javanese society. Ludruk helps persons symbolically defifine their movements from one type of situation to another—from traditional to modern situations. The sheer amount of dramatic activity in Java and the venereble role of drama there suggest that drama has something significant to do with the lives Javanese‖ Terjemahannya : ―Ludruk merupakan upacara, sebagai tindakan bermakna simbol. kemudian tindakan bermakna simbol ini memberikan semangat atau dorongan modernisasi masyarakat Jawa. Ludruk dipergunakan orang-orang dalam menjelaskan gerakan-gerakan mereka dari satu tipe situasi ke situasi lain, dari tradisional ke situasi modern. Aktivitas drama di Jawa dan peranannya yang patut dihargai, memberikan kesan bahwa drama berhubungan dengan kehidupan masyarakat Jawa.
Dalam hal ini penulis sependapat dengan James Peacock, bahwa Noh Kyogen dapat dikatakan sebagai tindakan bermakna simbol (Symbolic action), artinya segala tindakan yang terwujud dalam Noh Kyogen merupakan simbol-simbol. Dengan demikian, naskah cerita Noh Kyogen pada hakekatnya mengandung tanda-tanda kebahasaan atau simbol, sehingga segala tindakan dalam drama Noh Kyogen bermakna simbol. Simbol-simbol yang terkandung dalam drama Noh Kyougen tersebut diperkirakan merupakan perwujudan seniman dalam mengungkapkan kondisi kehidupan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Sehingga simbol-simbol ini dapat mengungkapkan penderitaan yang dirasakan oleh golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei, serta dapat menimbulkan bentuk rangsangan (hiburan) bagi golongan sosial bawah.
Berdasarkan pengertian simbol atau tanda di atas, bahwa simbol yang diekpresikan dengan kata-kata yang terkandung dalam naskah Noh Kyougen adalah berkaitan dengan situasi tertentu, yang dalam hal ini berkaitan dengan situasi kehidupan golongan sosial bawah zaman Chuusei. Dengan simbol ini, golongan sosial bawah tersebut dapat menyampaikan maksud dan tujuan yang dikomunikasikan melalui pertunjukkan Noh Kyougen yang ditonton oleh semua golongan dan mereka merasa terhibur. Drama Noh Kyougen merupakan hasil karya sastra zaman Chuusei dan merupakan bagian dari kebudayaan Jepang. Oleh karena itu dapat digunakan untuk menyampaikan atau mengungkapkan tentang kondisi kehidupan masyarakat dalam zaman Chuusei dan segala aktivitasnya dengan menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda bahasa.
Dengan demikian, Noh Kyougen digunakan oleh golongan sosial bawah zaman Chuusei untuk berkomunikasi dengan menggunakan lambang atau tanda-tanda bahasa yang berkaitan dengan kondisi sosial zaman Chuusei. Dan dengan cara tersebut golongan sosial bawah dapat melestarikan kehidupanya, serta dapat menciptakan stabilitas dalam kehidupannya. Isoji Asoo (1983:107-108) mengatakan bahwa Kyogen adalah drama jenaka atau drama lawak yang dipertunjukkan sebagai selingan dalam drama Noh dengan tujuan mengundang gelak tawa para penonton.
Di dalam pementasannya seringkali diselipkan sindiran-sindiran terhadap kontradiksi dalam masyarakat berupa lawakan-lawakan yang menggelitik. Kyougen bersifat kerakyatan yang mengandung unsur-unsur realita serta merupakan suatu pertunjukkan yang menitikberatkan pada dialog. Kyougen menurut Kitagawa (1983 : 1) adalah drama kehidupan sehari-hari zaman Chuusei yang dari awal sampai akhir menjadikan kehidupan rakyat sebagai bahan ceritanya. Dan di pihak lain, Kyougen dijadikan objek hiburan rakyat. Berdasarkan konsep drama dan Kyougen di atas, drama Kyougen sebagai tindakan bermakna simbol dan merupakan sebuah drama yang menitikberatkan dialog. Dalam dialognya senantiasa mencerminkan atau mengungkapkan kondisi kehidupan golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Noh Kyougen dalam pementasannya seringkali diselipkan sindiran-sindiran terhadap kontradiksi dalam masyarakat melalui lawakan-lawakan yang dapat mengundang gelak tawa para penonton.
Noh Kyougen dipergunakan juga sebagai hiburan oleh golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Hal di atas menunjukkan bahwa Noh Kyougen berkaitan dengan kehidupan rakyat dalam zaman Chuusei, maka mengenai kondisi sosial golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei tersebut akan terungkapkan atau tercermin dalam Kyougen. 1.2. Setting Drama Noh Kyougen Kondisi sosial merupakan peristiwa utama atau latar (setting) yang mempengaruhi sebagian alur dramatik. Dengan kata lain, kondisi sosial ini akan mempengaruhi penciptaan naskah cerita Kyougen. Sehingga naskah-naskah Noh Kyougen tersebut isinya mencerminkan kondisi kehidupan golongan sosial bawah pada zaman Chuusei dan segala permasalahannya. Agar lebih jelas, kondisi sosial bawah zaman Chuusei akan penulis uraikan di bawah ini. Masyarakat dalam zaman Chuusei awal, sebetulnya menuju kepada masyarakat feodal. Masyarakat feodal adalah masyarakat yang didominasi oleh pemerintahan militer yang hidup di atas tanah terpecah belah. Hal ini terjadi karena lahirnya banyak pengausa feodal yang mmberikan perlindungan atas faktor produksi, terutama tanah kepada para petani. Inti sistem feodal adalah muatan dua hubungan pribadi, yaitu antara raja dengan tuan-tuan tanah dan antara tuan-tuan tanah dengan petani. Sehingga dapat dikatakan ciri utama sistem feodal adalah adanya penyerahan diri seseorang ke tangan orang lain sekedar untuk memperoleh perlindungan dan pemeliharaan. Hubungan tersebut berupa hubungan tuan dengan petani sebagai hamba (Martin, 1990 : 165-166).
Hubungan tuan dan petani sebagai hamba adalah berdasarkan Shujukankei, sebenarnya Shujukankei ini juga merupakan hubungan yang dilaksanakan antara Shogun (jendral) dan Gokenin (prajurit). Yang dimaksud hubungan di sini yaitu shogun memberikan tanah dan jabatan di daerah kepada gokenin, sedangkan gokenin berbakti ikut mengawal istana dan pertahanan negara. Jadi hubungan berdasarkan Shujukankei ini dikenal sebagai hubungan feodal ala Jepang, dan besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat. Masyarakat feodal bermula dari berkuasanya kaum samurai di bawah pimpinan Minamoto Yoritomo yang diangkat sebagai shogun dalam zaman Kamakura (1192-1333). Kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan Ashikaga Takauji dalam zaman Muromachi (133-1573), Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi dalam zaman Azuchi Momoyama (1573-1600) dan diakhiri oleh pemerintahan Tokugawa Ieyasu pada zaman Edo (1600-1868). Diantara keempat pemerintahan tersebut di atas, pemerintahan dalam zaman Muromachilah yang paling banyak terjadi huru-hara, pemberontakan yang sifatnya meluas ke seluruh propinsi. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dalam zaman Muromachi tersebut adalah pemberontakan Nanbokucho (pertikaian utara dan selatan) tahun 1336-1392, pemberontakan Onin (1467 1477), pemberontakan Gekokujo (1573-1600). Hampir di seluruh negeri kekuasaan berpindah dari yang lama kepada yang baru, dimana-mana orang kuat mengorbankan yang lemah. Masa yang kacau ini berlangsung lebih dari seratus tahun, dan dikenal dengan Sengoku Jidai (perang saudara), ini kira-kira dari tahun 1477 hingga tahun 1585. Pemberontakan ini pada dasarnya diakibatkan oleh para penguasa yang dalam menjalankan tugasnya tanpa menghiraukan penderitaan rakyat (Yoshinobu Inoura, 1971), (Taro Sakamoto, 1981). Keadaan yang kacau ini dijadikan kesempatan oleh para penguasa propinsi (Shugo Daimyo) untuk meluaskan daerahnya. Sehinga para penguasa propinsi tersebut semakin kuat dan menguasai tanah yang luas. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki, para penguasa menjalankan tugasnya dengan cara yang kejam dan tanpa memperdulikan kondisi masyarakat yang dikuasainya. Akibatnya kehidupan golongan sosial bawah sebagai masyarakat yang dikuasai semakin menderita baik secara lahiriah maupun bathiniah. Akhirnya timbul antipati dari golongan sosial bawah terhadap para penguasa tersebut. Perasaan antipati ini sebenarnya sudah ada sejak akhir zaman Kamakura. Masyarakat golongan sosial bawah dalam zaman Kamakura akhir, berhasil dalam membentuk perserikatan kampung (Gosongrengo). Perserikatan kampung seperti ini disebut juga dengan istilah So. Petani yang antipati dari beberapa kampung bersatu, kemudian memukul mundur kekuatan pasukan penguasa yang datang menyerang.
Hal ini menujukkan pertama kali adanya semangat kritis dari golongan sosial bawah zaman Chuusei. Sebagai kelanjutan dari keadaan masyarakat golongan sosial bawah (petani) yang bersatu ini, timbul usaha golongan sosial bawah untuk mempertahankan kampungnya, dan hal ini disebut dengan istilah Jieitai (pertahanan diri). Oleh karena itu, gosonrengo pada hakekatnya ditujukan untuk mempertahankan kampungnya dari serangan-serangan pihak luar yang mereka anggap musuh, menentang para penguasa yang kurang disenangi dalam menjalankan tugasnya dan juga untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan kelompoknya secara bersama-sama (perasaaan kebersamaan) (lihat Fuji :51). Sebagai akibat dari ulah para penguasa yang kurang disenangi masyarakat golongan sosial bawah pada zaman Chuusei ini, maka pemborantakan-pemberontakan terhadap para penguasa terus terjadi. Sehinga menimbulkan pemberontakan Gekokujo (bawahan memberontak terhadap atasan). Pemberontakan Gekokujo ini memberikan pengaruh pada kehidupan golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Sebagai dampak Gekokujo, kehidupan golongan sosial bawah terasa ada sedikit perkembangan di sektor pertanian, perindustrian, dan kebudayaan. Kebudayaan menyebar ke propinsi-propinsi atau ke kalangan sosial bawah. Pada saat ini golongan sosial bawah dapat menikmati kesenian yang semula hanya dimiliki oleh kaum bangsawan saja. Penyebaran kebudayan ke propinsi-propinsi menurut Taro Sakamoto (1981) diakibatkan oleh adanya para Bushi (militer) yang ditempatkan di daerah-daerah.
Sebelum zaman Chuusei pada umumnya kaum bangsawanlah yang berhubungan erat dengan kesenian atau kebudayaan. Tetapi setelah memasuki zaman Chuusei, wibawa kaum bangsawan (keluarga Fujiwara) jatuh dan muncul penguasa baru yaitu golongan militer (Bushi) yang di awali oleh keluarga–keluarga Minamoto no Yoritomo. Para bushi yang menjadi Kenai (anak buah) Minamoto yang berprestasi diangkat menjadi Gokenin (penguasa pemerinahan di daerah). Dalam hala ini, dapat dikatakan logis bahwa bushi sebagai penyebar kebudayaan atau keseniaan ke kalangan golongan sosial bawah daam zaman Chuusei. Sesuai dengan menyebarnya kebudayaan, kesenian ke kalangan sosial bawah alam zaman Chuusei ini, pada kesempatan ini golongan sosial bawah dapat memanfaatkan seni drama Noh Kyougen untuk mengungkapkan pengalaman atau penderitaan yang mereka rasakan dalam zaman Chuusei. Melalui seniman drama pada zaman yang besangkutan, golongan sosial bawah dapat mengungkapkan kondisi kehidupannya (penderitaan-penderitaan yang mereka rasakan) dalam zaman Chuusei. Sesuai dengan pendapat Yoshinobu Inoura, bahwa drama selain merupakan cara pengungkapan kehidupan spiritual dan kultural manusia, juga merupakan hiburan.
Hiburan menurut Saini Kosim (1992: 134) adalah suatu perbuatan untuk memenuhi keperluan bagi masyarakat yang ingin melepaskan diri atau melarikan diri sementara waktu dari persoalan kehidupan mereka sehari-hari. Bila mengikuti pendapat ini, maka dapat dikatakan bahwa drama Noh Kyougen dimanfaatkan juga oleh golongan sosial bawah sebagai pelepasan diri sementara waktu dari persoalan kehidupan yang mereka rasakan sehari-hari. Dalam hal ini, Noh Kyougen difungsikan sebagai hiburan bagi golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei guna mengimbangi penderitaan-penderitaan yang mereka rasakan. Sebagai salah satu contoh Noh Kyougen yang mengungkapkan atau yang settingnya penderitaan-penderitaan, keluhan-keluhan yang dirasakan oleh golongan sosial bawah dan segala tindakannya, dapat dilihat dalam naskah Kyogen yang berjudul Buaku. Saigo Nobutsuna (1993 : 106) mengatakan bahwa cerita Buaku mengandung pengungkapan keluhan-keluhan golongan sosial bawah, pertentangan terhadap daimyo, dan perasaan kebersamaan antara sesama golongan sosial bawah. Daimyo (golongan militer kelas atas) adalah kelompok atau masyarakat yang mempunyai status sosial golongan kelas atas yang dalam zaman Chuusei dikenal sebagai kelas penguasa. Sedangkan bushi kelas rendah, petani, tukang, pedagang, dan buruh memiliki status sebagai golongan sosial bawah dan sebagai kelas yang dikuasai (Nakamura, 1991 : 204). Golongan sosial bawah (shomin) seperti bushi kelas rendah, petani (nomin), tukang(kojin), pedagang (shonin), buruh kasar (genin) adalah sebagai penyokong drama Noh Kyougen.
Sudah barang tentu isi ceritanya mengandung atau mencerminkan kondisi kehidupan golongan sosial bawah tersebut. Sehingga tema Kyougen banyak yang bertemakan mengenai hubungan penguasa dan yang dikuasai atau hubungan tuan dan bawahannya (pembantunya). Cerita Buaku pada dasarnya menunjukkan hubungan antara kelas penguasa dan kelas yang dikuasai. Dan juga menunjukkan adanya atau munculnya pemikiran kritis dari golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei sebagai reaksi atas penderitaan-penderitaan yang dirasakannya. Naskah Kyogen banyak bertemakan hubungan antara tuan (penguasa) dan bawahannya (yang dikuasai), yang di dalamnya mengandung unsur-unsur sindiran atau pertentangan terhadap para penguasa (daimyo). Selain itu mengandung juga unsur hiburan, karena cerita Kyougen penuh dengan sindiran-sindiran yang menggelitik, sehingga para penonton (terutama golongan sosial bawah) merasa senang dan terhibur. Pengungkapan keluhan-keluhan golongan sosial bawah dan pertentangan-pertentangan terhadap para daimyo melalui karya sastra pada zaman Chuusei ini, boleh dikatakan awal dari bangkitnya golongan sosial bawah. Karya sastra yang dihasilkan dalam zaman Chuusei ini, terutama yang berkaitan dengan kehidupan golongan sosial bawah di antaranya adalah hikayat Gunki Monogatari, Otogizoshi, drama Noh Kyougen. Pada dasarnya, karya sastra ini menggambarkan karakteristik zaman Chuusei (Isoji Asoo, 1983).
Kondisi sosial zaman Chuusei yang dijadikan setting atau terungkapkan dalam cerita Buaku tersebut, berkat adanya seniman drama yang peka terhadap kondisi kehidupan yang ada dilingkungan mereka. Dan para seniman ini mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui sejelas-jelasnya. Oleh karena itu masalah seniman ini perlu mendapat perhatian, karena seniman merupakan orang yang memberi isi dan bentuk karya sastra termasuk unsur yang bernilai sejarah (Atar Semi, 1993 : 66). 1.3. Seniman Drama Noh Kyougen Melalui drama seorang seniman mengungkapkan problem kehidupan yang seniman sendiri ikut berada di dalamnya. Yang Oleh karena itu seniman merupakan orang yang memberi isi dan bentuk drama termasuk unsur yang bernilai sejarah. Kita lebih mudah memahami sebuah karya bila terlebih dahulu telah memahami penulisnya dan penciptanya. Yang harus diperhatkan dalam seniman ini adalah riwayat hidup, status sosial, falsafah hidup, pendidikan dan kehidupan keagamaannya (Atar Semi, 1993 : 66-75). Seniman Noh Kyougen yang terkenal adalah Kanami dan Zeami (anaknya). Ami seperti yang terdapat pada Kanami dan Zeami merupakan gelar. Pada umumnya orang-orang, kaum padri yang bekerja dalam bidang seni, upacara teh dan pekerjaan lain yang ada di lingkungan Shogun yang tergolong Doboshu (pembantu/pelayan), pada zaman Muromachi diberi gelar Ami. Misalnya ada orang yang bernama Noami adalah orang yang ahli dalam bidang upacara teh, Kanami dan Zeami adalah orang yang ahli dalam bidang drama Noh Kyougen. Onami ahli dalam bidang pertamanan dan lain-lain, kebanyakan orang yang memiliki gelar Ami ini adalah penganut sekte Jishu (Nihon Geinoshi, 1993 : 129). 1. Kanami Kanami dilahirkan pada tahun 1333 tepat pada waktu itu runtuhnya Kamakura dan meninggal tahun 1384 dalam usia 52 tahun. Kanami adalah orang yang dilahirkan pada masa kekacauan Nanbokucho dan bersamaan dengan munculnya Sarugaku Noh. Kanami dilahirkan dalam keluarga Hatori di daerah Iga yang merupakan desa pertanian.
Hatori Iga ini adalah keluarga yang terkenal dan seorang Ninja (mata-mata). Ibunya berdasarkan silsilah keturunan adalah saudara perempuan dari Kusunoki Masashige yaitu orang yang terkenal pada masa Nanbokucho dan ayahnya bernama Jirozaemon Motoshige (Tamotsu Matsuda, 1976 :34; Kitagawa, 1981 :9) . Kanami diangkat sebagai anak angkat keluarga Dayu dari grup Yamada Sarugaku di Yamato. Dan disinilah seniman Kanami muncul dan mulai mengembangkan bakat seninya. Untuk mencegah terjadinya persaingan grup di antara satu keluarga, Kanami memutuskan untuk kembali ke daerah Iga tempat nenek moyangnya dahulu, dan ia membentuk grup Sarugaku yang disebut Yuzaki atau Yamato Yuzaki. Sehubungan pada saat itu di Yamato banyak hiburan diselenggarakan di Jinja Bukaku, Kanami merencanakan mengembangkan grupnya ke Yamato sambil berbakti pada Jinja (kuil Shinto). Ini menunjukkan bahwa Kanami bersama grupnya berkembang dari desa pertanian Iga ke Yamato, hal ini bagi pemain (aktor) Sarugaku tidak lain adalah hal pengembangan kepada satu tingkat (kelas tinggi). Di sini seni Kanami kelihatan cemerlang dan akhirnya grup Yuzaki ini terbilang sebagai satu grup Saugaku yang mewakili Yamato. Kemudian ada grup lain yang bernama Kanze, grup ini merupakan turunan dari grup Yuzaki, karena Kanze adalah nama waktu kecil Kanami yaitu Kanze Maru (Kitagawa, 1981 : 9). Sarugaku Noh pada saat itu lambat laun mendapat dukungan rakyat, akhirnya menjadi populer di setiap daerah dan di Yamato pun selain grup Kanze muncul grup-grup lain seperti Hosho, Kongo dan Komparu, dan ini disebut Yamato Shiza (empat grup Yamato). Selain itupun dibentuk juga grup Sarugaku di Omi, Tamba, Ise, Settsu dan lain-lain (1981 : 10). Selain Sarugaku Noh ada juga Dengaku Noh di Kyoto dan Nara. Dengaku dipertunjukkan mula-mula pada waktu menanami sawah dengan tujuan mendoakan supaya panen berlimpah dan Dengaku ini merupakan musik sawah yang memberikan semangat pada orang yang menanami sawah.
Setelah itu unsur menyanyi dan menari yang diiringi musik menjadi populer dan tersebar sampai ke kota besar. Hal ini membuat timbulnya kelompok pekerja utama (kesenian dijadikan pekerjaan utama) dan ini berkembang sehingga mengakibatkan satu grup mulai membikin drama yang memfokuskan seni akrobatik, tari dan nyanyian. Keadaan ini terlihat di dalam zaman Kamakura. Kelihatannya dalam hal ini Dengaku Noh dan Sarugaku Noh memperlihatkan suatu hal yang sama, tetapi berbeda dalam proses pembuatannya. Karena zaman hiburan rakyat yang baru seperti ini yang memegang peranan, maka pada setiap grup banyak orang yang ahli, misalnya Ichu adalah ahli dalam Dengaku dan Ichu ini merupakan guru dari Kanami juga, kemudian ada Kiami seorang yang ahli dalam Onkyoku (nyanyian yang diiringi musik Samisen) dan di Omi pun ada juga seorang ahli yang bernama Inou Doami.
Kanami karena bergaul dan bersaing dengan orang yang lebih ahli yang merupakan saingannya, dia berusaha untuk meningkatkan seninya. Dia memperbaiki inti isi dari Yamato Sarugaku, selanjutnya berniat mengembangkan dengan cepat pada masa berikutnya. Noh masa Kanami adalah drama rakyat asli (murni), dibuat dan dipertunjukkan sendiri. Pembuatannya pun bebas, memasukkan tarian dan memodifikasi lagu-lagu dengan iringan samisen dan betul-betul merupakan sekehendak hati. Kanami karena memperhatikan rakyat jelata mendapat penghargaan dan nama baik sebagai penghibur (artis). Kehebatan Kanami antara lain adalah usahanya dalam memperbaiki sifat seni yang mendekatkan diri kepada rakyat (1981:12). Kanami beranggapan bahwa seni pantomim membosankan bila tanpa diselipkan seni-seni yang lain. Selanjutnya Kanami dalam hal ini sangat memperhatikan lagu (nyanyian) dan tarian.
Oleh karena itu Kanami memasukkan nyanyian dan tarian ke dalam seni pantomim (monomase). Ini merupakan langkah pertama Kanami menekankan kahalusan pada Noh dan berdasarkan bentuknya sebagai drama simbolik dan bukan hanya drama realisme belaka. Dengan keterampilannya Kanami banyak membuat Noh yang hebat serta sedikit-demi sedikit mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Kira-kira tahun 1371 dan 1372 Kanami melaksanakan pertunjukkan selama 7 hari di kuil Daigoji di Kyoto, sejak itu meningkat popularitasnya di Kyoto. Shogun Ashikaga Yoshimitsu yang telah mendengar kabar popularitas itu, berangkat ke Imagumano menonton pertunjukkan Kanami (1981:14). Sarugaku Noh yang dilakukan (sebagai pekerjaan mengemis) akhirnya dikagumi oleh kaum bangsawan. Pada tahun 1374 saat-saat masa popularitas ini Kanami berusia 42 tahun dan Yoshimitsu berusia 17 tahun. Kanami pada pertunjukan Noh di Imagumano menarikan Okina (tarian kesucian) sebagai pembukaan. Tarian Okina pada awalnya hanya ditarikan oleh seorang senior atau seorang yang lebih tua saja, ini berdasarkan anggapan bahwa orang tua sama dengan dewa (Kami). Orang tua merupakan yang paling dekat dengan dewa (tuhan), kemudian orang tua ini menari dengan memakai topeng Okina. Pada tahun 1381 di lingkungan Shogun Yoshimitsu ada orang yang mengagumi Sarugaku Noh yaitu Ebina no Naami, mereka menyarankan terhadap Kanami bahwa yang menarikan Okina tersebut jangan orang tua lebih baik dilakukan oleh aktor utama dari satu grup. Berarti dari orang tua ke aktor utama, dan Okina ini dalam Sarugaku Noh dari orientasi kepada kepercayaan atau keagamaan beralih ke orientasi kepada seni.
Usaha grup ini dapat dikatakan sebagai peristiwa yang menunjukkan adanya perubahan tema pertunjukkan dari penekanan pada kebaktian upacara keagamaan ke unsur hiburan yang menyenangkan (1981 : 14). Pertunjukkan di Imagumano ini membuat nama Kanami diakui secara resmi sebagai seorang yang terkemuka dalam bidang Noh. Yoshimitsu sejak itu mengagumi Kanami dan anaknya Zeami yang sat itu berumur 12 tahun. Noh Kanami yang dalam waktu yang lama didukung oleh Jinja dan Desa pertanian, akhirnya memperoleh pengagum yang baru, yakni orang-orang kota, keluarga Bushi (militer). Keluarga bangsawan istana yang baru muncul sebagai orang ninggrat (1981 : 15). Sejarah Noh bagaimanapun tidak dapat melupakan eksistensi Yoshimitsu, karena berkat kehendak Yoshimitsu pada saat itu, Kanami membubuhkan sentuhan kehalusan (Yugen) pada monomane (pantomim) yang menjadikan rakyat sebagai tokoh cerita seperti yang telah disebut sebelumnya. Yoshimitsu dididik oleh Hoshokawa (orang penting dalam bakufu dan juga dia bertugas sebagai pembimbing Yoshimitsu), Hoshokawa mendidik kebiasaan-kebiasaan istana (hal-hal yang halus) pada Yoshimitsu.
Tetapi walaupun dia dididik di lingkungan istana, tetapi tetap saja hal-hal yang melatarbelakangi kelahiran dia (seorang Shogun) tidak bisa hilang, sehingga hal ini melandasi prilaku Yoshimitsu dalam perhatiannya terhadap seni terutama Sarugaku Noh (1981: 15). Kanami walaupun mendapat perlindungan dari Yoshimitsu kelihatannya tidak melupakan keberadaan rakyat yang merupakan dasar dirinya (pribadinya). Dan sampai bagian akhir dari hidupnya Kanami pergi berangkat ke Tosha dan Yamasato, dan pada tahun 1384 Kanami meninggal dunia. Dia meninggalkan kota pergi ke Horakuno Asama jinja dan segera membuat tontonan yang mempesona dengan gaya panggung yang indah berwarna-warni. Benar-benar ini dapat dikatakan saat-saat terakhirnya Kanami berpisah dari rakyat (1981:16). Apabila melihat kembali selama Kanami hidup, pertama-tama dia membuka grup di Iga (desa pertanian), kemudian pergi ke Yamato dan terus ke Kyoto dalam rangka mengembangkan grup seninya, dia terus menerus mengembangkan aktivitasnya dibidang seni (Sarugaku Noh) dan berusaha untuk mengalihkan sumber pendukungnya perlahan-lahan. Misalnya pada tahap awal didukung desa pertanian, tahap kedua didukung oleh kuil Budha/Shinto Yamato yang memiliki kekuasaan dari zaman dulu, lalu tahap ketiga masyarakat kota dan bangsawan keluarga militer yang baru bangkit di Kyoto.
Dalam pemberontakan Nanbokucho, karena kuil kehilangan Shoen sebagai dasar kelangsungan hidupnya dan masyarakat kota merupakan masyarakat yang makmur pada zaman tersebut, maka Kanami berusaha untuk membujuk kelas ini untuk menyokong hiburan yang dia tampilkan. Dalam hal ini Kanami dapat dikatakan sebagai orang yang luar biasa kemampuannya sebagai pengusaha grup hiburannya (1981:17). Kanami diterima dengan baik di desa maupun di kota, selanjutnya dia merupakan orang yang memiliki wawasan seni yang luas dan dikagumi oleh berbagai lapisan masyarakat dan rakyat sampai Shogun. Dengan uraian di atas, kita dapat mengetahui riwayat Kanami beserta kagiatan-kegiatan yang mereka lakukan yang berhubungan dengan pengembangan bakat seni dan perkembangnya seni dramanya. Selanjutnya hal ini menjadi dasar penulis dalam menulis drama Noh Kyougen dan untuk mengetahui latar belakang penciptaan naskah-naskah Noh Kyougen dilihat dari penciptanya. 2. Zeami Zeami adalah anak Kanami dan diperkirakan lahirnya pada tahun 1363 yaitu 5 tahun setelah kematian Shogun Ashikaga Takauji dan dibawah pemerintahan Yoshiakira generasi kedua Shogun Ashikaga. Nama aslinya adalah Kanze Saburo Motokiyo dan nama waktu kecilnya adalah Omiyasha (Kitagawa Tadahiko, 1981 :20). Berdasarkan catatan-catatan dalam ―Kanze Fukuda Keizu‖ ibu Zeami adalah anak perempuan Iibonoshono Nagatomi Saemon Rokuro dari daerah Harima kalau sekarang Hyogoken dan dikabarkan juga sebagai anak perempuan pendeta Budha Omata Takehara Daikaku, Zeami ini dilahirkan di Nagaoka (lihat Tamotsu Matsuda, 1976 : 36).
Karena mendapat perlindungan dari Shogun Yoshimitsu, Zeami hidup di dalam keluarga militer Muromachi dan sebagai Doboshu di lingkungan itu, bersamaan dengan memperoleh pendidikan keluarga bangsawan militer pada saat itu, dia dengan kejeliannya dan bakat seninya yang hebat akhirnya memiliki teknik seni atau akting yang cocok dengan keinginan, selera masyarakat kelas atas (bangsawan). Fujiki dan catatan Yoshimoto dari sejak kecil Zeami telah berhubungan dengan budayawan yang bernama Yoshimoto dan shogun Yoshimitsu, kemudian tumbuh di dalam lingkungan kebudayaan bangsawan dan kebudayaan kota (Kitagawa, 1981:22). Kazai dalam Nihon Geinoshi (1993: 131) mengatakan bahwa Zeami adalah Doboshu di lingkungan shogun Yoshimitsu dan juga mengatakan bahwa Ami pada umumnya adalah penganut Jishu, akan tetapi untuk Zeami bukanlah penganut Jishu secara utuh. Hal ini disebabkan karena Zeami belajar juga Zen(sekte Zen dalam agama Budha) dari Chikuso, maka Zeami adalah penganut sekte Zen juga.
Dengan demikian anggapan bahwa Doboshu semuanya penganut Jishu belum tentu, karena untuk Zeami lain. Zeami karena memiliki gelar yang disebut Zea atau Zeami yang merupakan pemendekan dari Zeamidabutsu (Budha), bagaimanapun ini ada kaitannya dengan agama Jishu dan orang-orang penganut Jishu ini disebut juga dengan Jishuu (1981 :22). Zeami pada waktu usia 10 tahun ikut ayahnya Kanami dalam mempertunjukkan Sarugaku Noh selama 7 hari di kuil Daigo yang ada di Kyoto, Zeami walaupun masih kecil telah memperlihatkan keterampilan seni yang hebat sekali. Pada usia 12 tahun Kanami mempertunjukkan Noh di Imagumano dilihat oleh Yoshimitsu, sehingga Yoshimitsu pun mengagumi pertunjukkan tersebut. Dan ini merupakan masa perubahan baik bagi Zeami yang masih kecil maupun bagi grup Kanze (1981 : 27). Keahlian Zeami tidak hanya berhubungan dengan Sarugaku Noh tetapi Zeami saat kecil mahir juga mengubah Renga dan mali (permainan bola). Pada usia 12 tahun Zeami diakui oleh Yoshmitsu, kemudian pada usia 13 tahun Zeami berkunjung kepada Nijo Yoshimoto seorang budayawan yang hebat pada saat itu dan sebelumnya menjabat sebagai penasihat kekaisaran. Disitulah Zeami diberi nama Fujikawa oleh Yoshimoto. Setelah berada sekitar 2 atau 3 tahun di Kyoto Zeami sudah mengubah renga (puisi) sehingga sangat mengesankan Yoshimoto.
Renga yang dipelajari oleh Zeami bukanlah renga orang biasa tetapi renga bangsawan. Yoshimoto dalam Kitagawa (1981 :29) mengatakan bahwa Zeami bukan ahli seni saja, tetapi dia mahir dalam permainan kemali, renga, kemudian penampilan dan perilakunya sangat mengesankan dan luar biasa, saya belum pernah lihat anak seperti itu. Shogun pun memujinya atau mengaguminya, susah dapat orang seperti itu, dan tak terpikirkan saya dapat berjumpa dengan orang seperti itu. Tidak hanya Yoshimoto saja bahkan shogun Yoshimitsu pun ikut juga menyayanginya. Kalau para Daimyou (tuan-tuan feodal) memberi hadiah kepada Fujikawa (Zeami), Yoshimitsu merasa senang sekali, maka para Daimyo bersaing memberi barang-barang yang sangat mahal atau banyak sekali kepada Fujikawa dengan tujuan mengambil hati shogun Yoshimitsu (1981: 31). Dari uraian di atas, terlihat suasana Zeami dalam masa kecilnya sudah bergaul dengan golongan bangsawan, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa Zeami dibesarkan di lingkungan kebudayaan bangsawan dan kebudayaan kota. Ini berbeda dengan ayahnya Kanami yang dibesarkan di desa. Zeami mengagumi kejayaan ayahnya selama hidupnya, tetapi karena berbeda dalam masalah titik keberangkatannya, maka dunia kedua orang ini sudah tentu terpisah. Kanami lebih menitikberatkan pada karakter Inaka (desa) dan Ongokun (negeri yang jauh), sedangkan Zeami tidak memliki aroma suasana ayahnya yang dibesarkan di desa, tetapi dipengaruhi ole kebudayaan bangsawan dan kehidupan kota.
Sebagian besar penghbur zaman Chuusei ini adalah dari golongan Sanjo. Sanjo zaman Chuusei adalah orang yang bekerja sebagai tukang sapu atau tukang gali di kuil-kuil (dikutip dari kamus Kojien). Sanjo ini sebagai penganut Budha dan diperlakukan sebagai orang rendah. Penghibur ini disatu pihak dia dihina dan di pihak lain dia menjadi idola rakyat, dia dapat belajar dan sangat bebas. Dia bisa menghadap orang bangsawan dan juga pergi ke medan perang yang berbahaya sekalipun secara bebas. Golongan Jishu pun sama mempunyai kebebasan seperti di atas atau seperti Sanjo. Jadi penghibur (Geinojin) atau penganut Jishu ini dianggap menghilangkan perbedaan status, karena dia bisa bebas. Dalam hal ini, Zeami pun karena sebagai seorang penghibur, supaya mendapat posisi yang bebas berpura-pura orang Jishu (1981:23). Sarugaku seperti diketahui sebagai tingkah laku pengemis di Yamato. Sarugaku adalah pekerjaan orang rendahan yang hina seperti Shirabyoshi (penari wanita zaman Chuusei), Kanetataki (orang yang memukul lonceng berkeliling sambil mengemis dan menghafalkan kitab sutra) dan lain-lain. Sarugaku ini di bawah kekuasaan Shomoji yang sama sekelasnya dengan Senmai (orang golongan rendah/hina). Sehingga Zeami pun di mata orang-orang dikatakan sebagai anak pengemis, karena dia yang ahli dalam bidang seni ini. Sehingga ada yang mengatakan bahwa anak pengemis itu dapat duduk di sebelah shogun. Para daimy untuk menarik simpati shogun memberikan hadiah yang cukup banyak dan mahal-mahal secara bersaing kepada Zeami. Zeami sebagai salah satu seorang anggota Sarugaku yang merupakan pekerjaan pengemis bisa duduk dengan Yoshimitsu dan sama-sama bisa menonton Gion Matsuri yang sangat besar, peristiwa ini belum pernah ada contoh sebelumnya (1981 : 31-32). Dari uraian di atas, ini bisa dilihat bahwa Zeami disatu pihak merupakan keturunan dari desa dan di pihak lain merupakan anak kota. Karena selera atau budaya Zeami dari masih kecil ala kota dan ala bangsawan, maka Zemai bisa menyesuaikan dengan selera Yoshimoto dan Yoshimitsu, hal ini dapat dikatakan ada suatu kontradiksi antara sifat dari nenek moyangnya dengan perasaan dia pribadi. Fujikawa yang berusia 16 tahun ini lama kelamaan meniadakan kontradiksi ini dengan cara menghilangkan sifat sebenarnya dan mengembangkan pribadinya (Kitagawa, 1981:32).
Pada umur 22 tahun ayahnya Zeami meninggal, walaupun pada waktu ini Yoshimitsu banyak membantu Zeami, secara spiritual kondisi Zeami pada saat ini menjadi tidak jelas. Zeami muncul kembali ke hadapan masyarakat yaitu pada waktu runtuhnya Yamauji (daimyo) karena pemberontakan, bersatunya kekaisaran Utara dan selatan (Nanbokucho), dan setelah kuatnya landasan Bakufu Muromachi (1981 :33). Di rumah Yoshimitsu pada tahun 1342 tanggal 27, 28 Juni diadakan Sarugaku dan kaisar pun datang melihatnya dan pada tahun 1348 Yoshimitsu di tempat kediamanya di Kitayama menyambut kedatangan kaisar Gokomatsu dan merayakannya dengan pertunjukkan Bugaku, Sarugaku Noh dan tentu saja Zeami pun muncul dalam pertunjukan itu, hal ini menunjukkan bahwa seni Zeami telah dikagumi golongan atas. Setelah dua bulan kaisar datang ke Kitayama, pada tanggal 6 Mei 1348 Yo shimitsu meninggal dalam usia 51 tahun. Selanjutnya kepemimpinan diganti oleh shogun Yoshimochi. Kematian Yoshimitsu mengakibatkan suramnya kedaan Zeami, karena kehilangan pelindung dia mundur ke Sarugaku kuil daerah. Hal ini disebabkan oleh kebencian Yoshimochi terhadap ayahnya Yoshimitsu yang menyayamgi Yoshitsugu anak Yoshimitsu dari istri kedua. Akibatnya Yoshimochi membenci segala sesuatu yang disukai atau digemari ayahnya. Karena Zeami sangat dikagumi ayahnya, maka Zeami pun dibencinya, sehinga Yoshimochi mengagumi yang lain asal jangan Zeami. Hal ini merupakan masa kesulitan Zeami yang pertama, dan masa kesulitan yang kedua terjadi juga pada setelah Yoshimochi meninggal dan diganti oleh shogun Yoshinari(1981:40). Karena ada perubahan sosial, Zeami tidak senang di kota, dan karena tidak cocok lagi dengan orang atas dia mundur ke kuil, tapi dia tidak menghilangkan kekuatan seninya, dan merasa bahwa mungkin dalam suatu waktu ada kesempatan lagi. Kalau dilihat, Sarugaku di kota atau di desa berbeda, tetapi sebetulnya intinya adalah sama yaitu menitikberatkan popularitas (Shujinsei, 1981 :47). Hal di atas menunjukkan adanya kecenderungan Zeami mengikuti jejak ayahnya yang mengutamakan desa dan negeri jauh. Selain Kanami dan Zeami ada lagi seniman drama Noh Kyougen yaitu, Onami dan Zenchiku. Kedua seniman ini pengikut Zeami, sudah barang tentu mereka mempunyai hubungan dekat dengan Zeami. Sehinga gaya seninya tidak jauh berbeda dengan Zeami. Dan pada zaman Onami dan Zenchikulah Noh dan Kyougen berhasil digemari oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak orang-orang yang menemukan kesenangannya dalam pertunjukkan Noh Kyougen.
Fungsi Drama Noh Kyougen Zeami dalam memperkaya gaya seninya banyak mengambil gaya seni dari Kanami walaupun Zeami pada awalnya berangkat dari kebudayaan kota, berbeda dengan Kanami yang berawal dari desa. Zeami cenderung mengikuti jejak Kanami yang mengutamakan desa dan memperhatikan rakyat(Kitagawa, 1981 : 12; Yoshinobu Inoura, 1971 : 93-94). Naskah Noh Kyougen yang terkenal dari Zeami adalah Kani Yamabushi, Fuku no Kami yang menggambarkan kehidupan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Dan banyak lagi yang lainnya yang mempermasalahkan hubungan tuan dan bawahan (Shujukankei), kedewaan (kesucian), petani, pencuri dan sebagainya. Naskah Noh Kyougen dibuat untuk dipertunjukkan di atas panggung melalui pemainnya (aktor) berupa dialog-dialog. Dalam dialog-dialognya mempermasalahkan kehidupan sehari-hari golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei, diselingi lagu-lagu dan diikuti gerakan-gerakan. Setiap pertunjukkan menggambarkan tindakan sosial (social action) yang dapat dirasakan oleh para pemain dan penonton. Sehingga dialog-dialognya dan cerita Noh Kyougen mengambarkan kesamaan ide antara para peserta (penonton) dengan para pemain yang menggunakan media untuk mencapai tujuan (James Peacock).
Dengan demkian segala hal yang menyangkut pertunjukkan seperti dialog-dialog dan cerita Kyougen sebagai konsepsi tindakan sosial (social action) dianalisis sebagai tindakan yang bermakna simbol. Dalam pertunjukkan Noh Kyougen, melibatkan para pemain dan para penonton yang terdiri dari semua golongan, yakni golongan penguasa (daimyo), golongan bawah (bushi kelas rendah, petani, pedagang, buruh) bahkan juga shogun. Diantara para pemain dan penonton terjadi suatu proses komunikasi. Komunikasi berlangsung melalui simbol-simbol atau tanda-tanda yang signifikan. Kata-kata, isyarat dan tanda objek lain digunakan oleh pemain Noh Kyougen untuk menyampaikan maksudnya (keluhan-keluhan, keinginan-keinginan, pengalaman-pengalaman) kepada penonton. Sehingga Noh Kyougen merupakan alat komunikasi, yakni Noh Kyougen tersebut digunakan oleh golongan sosial bawah zaman Chuusei sebagai alat untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan keluhan-keluhan, keinginan-keinginan, pengalaman-pengalaman golo-ngan sosial bawah (penderitaan-penderitaan yang dirasakan oleh golongan sosial bawah zaman Chuusei).
Jung dalam Spink (1992 : 131) mengatakan bahwa kita harus menginterpretasikan aktivitas manusia, terutama aktivitas yang diungkap- kan secara simbolis dengan apa yang diharapkan. Humar Sahman (1993 : 44) mengatakan bahwa interpretasi berkaitan dengan pertanyaan tentang makna karya seni atau apa yang sesungguhnya kita cari pada karya seni. Dengan mengenali maksud si seniman, dan tema yang dipilihnya, kita akan bisa sampai kepada makna yang dicari, kepada apa yang bisa ditemukan pada karya seni. Oleh karena itu segala aktivitas golongan sosial bawah pada zaman Chuusei yang diungkapkan secara simbolis atau yang diungkapkan dengan kata-kata, tanda-tanda kebahasaan melalui drama Noh Kyougen harus diinterpretasikan guna mengetahui makna atau isi dari cerita Noh Kyougen tersebut. Dengan diketahuinya makna cerita Noh Kyougen, maka dapat diketahui pula maksud dan tujuan yang diharapkan oleh golongan sosial bawah ataupun seniman itu sendiri. Untuk mengetahui atau menginterpretasikan simbol-simbol yang terkandung dalam naskah Noh Kyougen, salah satu caranya dengan analisis struktur cerita Noh Kyougen dengan menggunakan teori struktur dan semiotik.
Ferdinand de Sausure dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (1992 : 52) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan dan dengan demikian dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, dengan bentuk sopan santun tanda-tanda kemiliteran, dengan abjad orang tuli bisu, dengan upacara simbolik dan lain-lain. Hanya bahasalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Linguistik hanya merupakan bagian dari ilmu yang umum ini. Aturan-aturan yang akan ditemukan oleh semiologi akan dapat diterapkan pada linguistik. Dengan demikian linguistik akan menjadi suatu bidang khusus yang termasuk dalam keseluruhan hubungan manusia. Kita dapat menggambarkan suatu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakan kami namakan itu semiologi dari bahasa Yunani yang berarti tanda. Ilmu ini akan mengajarkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda itu, kaidah-kaidah apa yang mengaturnya. Atar Semi (1989 : 45) mengatakan dalam semiotik segala unsur yang ada dalam suatu karya sastra dilihat sebagai bagian dari suatu sistem. Dengan demikian setiap unsur dalam suatu karya sastra masuk ke dalam suatu sistem tertentu. Karya sastra disusun berdasarkan suatu sistem, sesuatu yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat akan tercermin di dalam karya sastra karena karya sastra itu tidak dapat melepaskan diri dari sistem kemasyarakatan itu sendiri.
Bila suatu masyarakat memperlihatkan pembenturan berbagai nilai maka kekacauan dan pembenturan itu akan tercermin pula pada karya sastra itu. Pola bahasa masyarakat yang kacau, mungkin saja akan tercermin dalam bahasa yang dipergunakan juga oleh pelaku-pelaku cerita. Sehingga menelaah suatu karya sastra mau tidak mau harus menghubungkannya dengan kenyataan kehidupan masyarakat. Begitulah penting adanya analisis yang memperhatikan atau memandang sesuatu sebagai suatu sistem, yakni sistem tanda (semiotik). Drama Noh Kyougen merupakan hasil karya sastra dalam zaman Chuusei. Berdasarkan pendapat Sausure dan Atar Semi di atas, drama Noh Kyougen tersebut mencerminkan suatu yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat pada zaman Chuusei. Sehingga apabila dalam zaman Chuusei tesebut terjadi kekacauan atau pembenturan berbagai nilai, maka kekacauan dan pembenturan itu tercermin dalam cerita Noh Kyougen. Tentunya dalam menginterprestasikan isi cerita Noh Kyougen mau tak mau harus menghubungkannya dengan kanyataan kehidupan masyarakat pada zaman yang bersangkutan (Chuusei) terutama masyarakat golongan sosial bawah. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan semiotik yaitu pemahaman melalui tanda-tanda bahasa yang terdapat dalam cerita Noh Kyougen.
Noth dalam Parwatri Wahyono (1993) menyatakan pengertian fungsi adalah sesuatu istilah kunci dalam studi teks komunikasi, serta struktur dan sistem semiotik. Ada dua konsep utama fungsi semiotik yaitu fungsi struktur dan fungsi kegunaan atau Fungsi fragmatik. Konsep yang pertama adalah fungsi dalam bahasa dan yang kedua adalah fungsi komunikasi. Stuktur menurut Lane (1970:24) adalah sebagai berikut : A structure is a set of any elements between which or between sub sets of which relations are defined. Terjemahannya : Struktur adalah seperangkat unsur-unsur di antara mana atau di antara sub perangkat mana hubungan-hubungan dinyatakan. Teuw (1984 : 135) mengatakan bahwa analisis struktur pada prinsipnya bertujuan untuk memaparkan secermat, seteliti dan semendalam mungkin keterkaitan semua unsur dan aspek yang terkandung dan yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Dalam analisis struktur cerita Noh Kyougen ini, semua unsur yang terkandung seperti : alur, perwatakan, diksi dan lain-lain yang semuanya itu saling berkaitan dalam suatu bentuk cerita (naskah) Noh Kyougen, akan apat ditemukan maknanya dengan pertolongan pendekatan semiotik yaitu pemahaman melalui tanda-tanda bahasa yang terdapat dalam cerita Noh Kyougen, syair nyanyian dalam Noh
Kyougen dan spektakel Noh Kyougen. Hubungan cerita atau syair lagu yang ada dalam Noh Kyougen dengan siatuasi zaman Chuusei (kondisi kehidupan golongan sosial bawah) kita lihat sebagai tanda dan dalam kaitan ini tersirat fungsi dari semua unsur tadi. Dengan diketahuinya makna atau isi cerita Noh Kyougen, maka dapat juga diketahui maksud dan tujuan yang diharapkan oleh golongan sosial bawah ataupun seniman itu sendiri dalam zaman Chuusei. Selain itu dapat diketahui juga kondisi sosial zaman Chuusei terutama yang menyangkut kehidupan golongan bawah serta fungsi Noh Kyougen bagi golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Fungsi dalam ilmu sosial berarti sesuatu yang menunjukkan kaitan antara sesuatu hal dengan hal lain atau sesuatu yang menyatakan hubungan antara suatu hal dengan pemenuhan kebutuhan tertentu (Merton, 1969). Berdasarkan pengertian fungsi di atas menunjukkan bahwa dalam hubungan Noh kyougen dengan kondisi kehidupan golongan sosial bawah pada zaman Chuusei, tersirat Noh Kyougen hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan golongan sosial bawah zaman Chuusei. Misalnya kebutuhan untuk mengungkapkan penderitaan atau keluhan-keluhan yang dirasakan, kebutuhan untuk hiburan. Dari hubungan Noh Kyougen dengan pemenuhan kebutuhan golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei, tersirat fungsi Noh Kyougen bagi golongan sosil bawah. Dari pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa fungsi dari Noh Kyougen sebagai alat untuk mengungkapkan penderitaan yang dirasakan oleh golongan sosial dalam zaman Chuusei, dan tumpahan penghiburan bagi penderitaan yang dirasakan golongan bawah dalam zaman Chuusei. Dengan kerangka berpikir seperti di atas, dalam buku ini penulis menunjukkan adanya pengungkapan kondisi kehidupan golongan sosial bawah yang menderita dalam zaman Chuusei oleh para seniman drama pada zaman yang bersangkutan melalui drama Noh Kyougen. Dan juga menunjukkan bahwa Noh Kyougen digunakan oleh golongan sosial bawah ini sebagai tumpahan penghiburan bagi penderitaan yang dirasakannya.
Kemudian Kyougen ini menjadi sebuah drama komedi yang pertunjukannya diselipkan dalam drama Noh. Sehingga Kyogen tersebut disebut juga dengan istilah Noh Kyogen. Dan drama Kyougen sebagai selingan dalam drama Noh (Noh Kyogen) inilah yang menjadi fokus dari penulisan buku ini. Dan selanjutnya konsep drama yang digunakan atau diacu dalam buku ini adalah konsep drama menurut pendapat dari Yoshinobu Inoura. Drama menurut Yoshinobu Inoura (1971:1) adalah sebagai berikut: ―be it ordinary drama, or masked drama, or puppet drama, all drama expresses man’s spiritual and cultural life directly, impressively and vividly by bodily action. It comport and delight people, stimulates them to think, and purifies their minds. And it reflects man’s life all the better for this.
Drama biasa atau drama bertopeng dan drama boneka kesemuanya, merupakan cara pengungkapan kehidupan spiritual dan kultural umat manusia secara langsung dengan cara yang impresif dan dengan mulus melalui gerakan tubuh. Pada dasarnya drama merupakan hiburan, juga merangsang manusia untuk berpikir dan menjernihkan pikirannya. Dan drama mencerminkan kehidupan manusia dengan cara yang lebih baik daripada cara apapun juga‖ Drama dikatakan mencerminkan kehidupan manusia dengan cara yang lebih baik daripada cara apapun juga, dikatakan demikian karena drama dapat melaksanakan fungsi katarsis. Aristoteles dalam Humar Sahman (1993) mengatakan bahwa drama harus memperlihakan kesatuan (merupakan sokogurunya bentuk dan struktur karya seni). Di dalamnya, tidak boleh ada peristiwa atau adegan yang mengaburkan gambaran tentang kesatuan tersebut. Sebagai kesatuan, drama itu akan dapat melaksanakan fungsi katarsis, yang dapat diartikan sebagai sublimasi atau pembebasan tekanan batin yang antara lain timbul karena adanya tekanan-tekanan sosial. Jika tekanan batin ini tidak dikatarsis, maka akan bisa mengambil bentuk tindakan yang destruktif ataupun asosial. Drama merupakan karya sastra atau karya seni.
Karya seni menurut Kuypers (1977 : 251-254) boleh dipandang sebagai tanda, karena dibuat dengan maksud menyampaikan sesuatu. Dan tanda yang secara wajar dan dengan sendirinya menyampaikan sesuatu adalah lambang atau simbol. Karya seni berkisah tentang pengalaman hidup penciptanya, yang oleh si pengamat yang terpesona dilihat sebagai lambang pengalaman hidup dimaksud. Lambang sebagai tanda bahasa tanda (takental) kedudukanya khas bagi karya seni, sebagai produk seniman yang untuk keperluan itu memanfaatkan bahan atau berbagai bahan yang kemudian ditatanya kembali berdasarkan segi pandang kesenimanannya. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra atau seni sebagai pengalaman. Yang dimaksud pengalaman di sini ialah jawaban (respons) yang utuh dari jiwa manusia ketika kesadarannya besentuhan dengan kenyataan (realita). Disebut utuh karena tiak hanya mleiputi kegiatan pikiran atau nalar, akan tetapi juga kegiatan perasan dan khayal (imajinasi). Yang dimaksud kenyataan (realitas) ialah sesuatu yang dapat merangsang atau menyentuh kesadaran manusia, baik itu yang ada di dalam dirinya maupun yang ada di luar dirinya. Gagasan-gagasan, perasaan-perasan, dan gambaran-gambaran khayali (citra) yang muncul dalam kesadaran seseorang dapat menjadi sasaran pemikiran, perasaan dari pengkhayalan orang itu, hingga terwujud pengalaman baru. Kenyataan itu dapat pula merupakan sesuatu yang berada di luar diri orang itu, misalnya peristiwa yang disaksikan atau bahkan dialami sendiri, gagasan orang lain, manusia dan benda-benda.
Kesemua itu melalui pancaindra menyentuh kesadaran seseorang dan kalau orang itu memberikan jawaban pikiran, perasaan dan pengkhayalan terhadapnya, maka akan timbullah apa yang disebut pengalaman itu (Jakob Sumardjo dan Saini K.M, 1986 : 10). Secara implisit tanda dianggap sebagai alat komunikasi antara dua orang manusia yang secara sengaja dan bertujuan menyatakan maksud, pesan atau keinginan. Komunikasi terjadi dengan perantaraan tanda-tanda dan komunikasi mementingkan hubungan antara tanda-tanda dengan pengirim dan penerimanya (Panuti Sudjiman dan Art Van Zoest, 1992 : 6). Hal di atas menunjukkan bahwa drama merupakan alat komunikasi, sehingga diantara pemain drama dan penonton terjadi proses komunikasi. Artinya para pemain drama berdialog di atas pentas dengan tujuan menyampaikan pesan cerita kepada audiens atau penonton, dan penonton menerima atau menangkap pesan yang disampaikan oleh para pemain drama tersebut di atas pentas. Charles Pierce dalam Keir Elam (1980:22) mengatakan bahwa dalam proses komunikasi, tanda-tanda bahasa hanya merupakan salah satu kelompok tanda yang digunakan. Kata-kata, kalimat-kalimat dan teks-teks termasuk tanda itu.
Demikian juga Keir Elam sendiri mengatakan bahwa dalam komunikasi dengan menggunakan drama sebagai alatnya bagaimanapun faktor bahasa merupakan masalah penting. Sehingga tugas semiotik drama untuk meneliti fungsi linguistik merupakan suatu yang sangat khas dalam drama. Semiotik menurut Sausure adalah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem -sistem lambang, dan proses-proses perlambangan. Dengan demikian ilmu bahasapun dapat dinamakan ilmu semiotik. Di dalam rangka sebuah sistem lambang kita mengartikan gejala-gejala tertentu (gerak-gerik, kata-kata, kalimat, dan seterusnya) berdasarkan sebuah kaidah atau sejumlah kaidah. Kaidah-kaidah itu merupakan kode, yaitu alas atau dasar mengapa kita mengartikan suatu gejala begini atau begitu, sehingga gejala itu menjadi suatu tanda atau kode. Pada hakekatnya semua tanda atau kode yang berlaku dalam masyarakat merupakan faktor yang potensi di dalam pertunjukkan (sandiwara). Tentu dari kode-kode ini (gerak, linguistik) akan menjadi suatu sistem yang khas, sementara yang lain (kebiasaan secara drama atau sandiwara dan kode budaya umum) akan dapat diterapkan dalam pembicaraan secara drama atau sandiwara yang yang panjang (Keir Elam, 1980:50). Kata-kata dan unsur-unsur kebahasaan pada umumnya, pada prinsipnya semua merupakan simbol.
Oleh karena itu tanda-tanda yang diekspresikan berupa kata dan tanda-tanda kebahasaan adalah simbol. Simbol-simbol berfungsi untuk menghubungkan kenyataan--kenyataan yang dihadapi dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh manusia dengan bentuk-bentuk hubungan simbolik yang secara khusus berlandaskan pada kebudayaan da kehidupan sosial ekonomi. Bila mengikuti pernyataan-pernyataan di atas, pada dasarnya drama Noh Kyogen merupakan alat komunikasi sosial yang secara sengaja menggunakan tanda-tanda bahasa (simbol) seperti: kata-kata, kalimat-kalimat, dan teks-teks untuk menyampaikan maksud, pesan atau keinginan golongan sosial bawah yang berlandaskan pada kebudayaan dan kehidupan sosial. James Peacock dari hasil penelitiannya mengenai ludruk, mengatakan sebagai berikut : ―Ludruk is a rite, a symbolic action. The other is that this symbolic Action has certain social consequences –it encourages the modernization of Javanese society. Ludruk helps persons symbolically defifine their movements from one type of situation to another—from traditional to modern situations. The sheer amount of dramatic activity in Java and the venereble role of drama there suggest that drama has something significant to do with the lives Javanese‖ Terjemahannya : ―Ludruk merupakan upacara, sebagai tindakan bermakna simbol. kemudian tindakan bermakna simbol ini memberikan semangat atau dorongan modernisasi masyarakat Jawa. Ludruk dipergunakan orang-orang dalam menjelaskan gerakan-gerakan mereka dari satu tipe situasi ke situasi lain, dari tradisional ke situasi modern. Aktivitas drama di Jawa dan peranannya yang patut dihargai, memberikan kesan bahwa drama berhubungan dengan kehidupan masyarakat Jawa.
Dalam hal ini penulis sependapat dengan James Peacock, bahwa Noh Kyogen dapat dikatakan sebagai tindakan bermakna simbol (Symbolic action), artinya segala tindakan yang terwujud dalam Noh Kyogen merupakan simbol-simbol. Dengan demikian, naskah cerita Noh Kyogen pada hakekatnya mengandung tanda-tanda kebahasaan atau simbol, sehingga segala tindakan dalam drama Noh Kyogen bermakna simbol. Simbol-simbol yang terkandung dalam drama Noh Kyougen tersebut diperkirakan merupakan perwujudan seniman dalam mengungkapkan kondisi kehidupan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Sehingga simbol-simbol ini dapat mengungkapkan penderitaan yang dirasakan oleh golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei, serta dapat menimbulkan bentuk rangsangan (hiburan) bagi golongan sosial bawah.
Berdasarkan pengertian simbol atau tanda di atas, bahwa simbol yang diekpresikan dengan kata-kata yang terkandung dalam naskah Noh Kyougen adalah berkaitan dengan situasi tertentu, yang dalam hal ini berkaitan dengan situasi kehidupan golongan sosial bawah zaman Chuusei. Dengan simbol ini, golongan sosial bawah tersebut dapat menyampaikan maksud dan tujuan yang dikomunikasikan melalui pertunjukkan Noh Kyougen yang ditonton oleh semua golongan dan mereka merasa terhibur. Drama Noh Kyougen merupakan hasil karya sastra zaman Chuusei dan merupakan bagian dari kebudayaan Jepang. Oleh karena itu dapat digunakan untuk menyampaikan atau mengungkapkan tentang kondisi kehidupan masyarakat dalam zaman Chuusei dan segala aktivitasnya dengan menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda bahasa.
Dengan demikian, Noh Kyougen digunakan oleh golongan sosial bawah zaman Chuusei untuk berkomunikasi dengan menggunakan lambang atau tanda-tanda bahasa yang berkaitan dengan kondisi sosial zaman Chuusei. Dan dengan cara tersebut golongan sosial bawah dapat melestarikan kehidupanya, serta dapat menciptakan stabilitas dalam kehidupannya. Isoji Asoo (1983:107-108) mengatakan bahwa Kyogen adalah drama jenaka atau drama lawak yang dipertunjukkan sebagai selingan dalam drama Noh dengan tujuan mengundang gelak tawa para penonton.
Di dalam pementasannya seringkali diselipkan sindiran-sindiran terhadap kontradiksi dalam masyarakat berupa lawakan-lawakan yang menggelitik. Kyougen bersifat kerakyatan yang mengandung unsur-unsur realita serta merupakan suatu pertunjukkan yang menitikberatkan pada dialog. Kyougen menurut Kitagawa (1983 : 1) adalah drama kehidupan sehari-hari zaman Chuusei yang dari awal sampai akhir menjadikan kehidupan rakyat sebagai bahan ceritanya. Dan di pihak lain, Kyougen dijadikan objek hiburan rakyat. Berdasarkan konsep drama dan Kyougen di atas, drama Kyougen sebagai tindakan bermakna simbol dan merupakan sebuah drama yang menitikberatkan dialog. Dalam dialognya senantiasa mencerminkan atau mengungkapkan kondisi kehidupan golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Noh Kyougen dalam pementasannya seringkali diselipkan sindiran-sindiran terhadap kontradiksi dalam masyarakat melalui lawakan-lawakan yang dapat mengundang gelak tawa para penonton.
Noh Kyougen dipergunakan juga sebagai hiburan oleh golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Hal di atas menunjukkan bahwa Noh Kyougen berkaitan dengan kehidupan rakyat dalam zaman Chuusei, maka mengenai kondisi sosial golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei tersebut akan terungkapkan atau tercermin dalam Kyougen. 1.2. Setting Drama Noh Kyougen Kondisi sosial merupakan peristiwa utama atau latar (setting) yang mempengaruhi sebagian alur dramatik. Dengan kata lain, kondisi sosial ini akan mempengaruhi penciptaan naskah cerita Kyougen. Sehingga naskah-naskah Noh Kyougen tersebut isinya mencerminkan kondisi kehidupan golongan sosial bawah pada zaman Chuusei dan segala permasalahannya. Agar lebih jelas, kondisi sosial bawah zaman Chuusei akan penulis uraikan di bawah ini. Masyarakat dalam zaman Chuusei awal, sebetulnya menuju kepada masyarakat feodal. Masyarakat feodal adalah masyarakat yang didominasi oleh pemerintahan militer yang hidup di atas tanah terpecah belah. Hal ini terjadi karena lahirnya banyak pengausa feodal yang mmberikan perlindungan atas faktor produksi, terutama tanah kepada para petani. Inti sistem feodal adalah muatan dua hubungan pribadi, yaitu antara raja dengan tuan-tuan tanah dan antara tuan-tuan tanah dengan petani. Sehingga dapat dikatakan ciri utama sistem feodal adalah adanya penyerahan diri seseorang ke tangan orang lain sekedar untuk memperoleh perlindungan dan pemeliharaan. Hubungan tersebut berupa hubungan tuan dengan petani sebagai hamba (Martin, 1990 : 165-166).
Hubungan tuan dan petani sebagai hamba adalah berdasarkan Shujukankei, sebenarnya Shujukankei ini juga merupakan hubungan yang dilaksanakan antara Shogun (jendral) dan Gokenin (prajurit). Yang dimaksud hubungan di sini yaitu shogun memberikan tanah dan jabatan di daerah kepada gokenin, sedangkan gokenin berbakti ikut mengawal istana dan pertahanan negara. Jadi hubungan berdasarkan Shujukankei ini dikenal sebagai hubungan feodal ala Jepang, dan besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat. Masyarakat feodal bermula dari berkuasanya kaum samurai di bawah pimpinan Minamoto Yoritomo yang diangkat sebagai shogun dalam zaman Kamakura (1192-1333). Kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan Ashikaga Takauji dalam zaman Muromachi (133-1573), Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi dalam zaman Azuchi Momoyama (1573-1600) dan diakhiri oleh pemerintahan Tokugawa Ieyasu pada zaman Edo (1600-1868). Diantara keempat pemerintahan tersebut di atas, pemerintahan dalam zaman Muromachilah yang paling banyak terjadi huru-hara, pemberontakan yang sifatnya meluas ke seluruh propinsi. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dalam zaman Muromachi tersebut adalah pemberontakan Nanbokucho (pertikaian utara dan selatan) tahun 1336-1392, pemberontakan Onin (1467 1477), pemberontakan Gekokujo (1573-1600). Hampir di seluruh negeri kekuasaan berpindah dari yang lama kepada yang baru, dimana-mana orang kuat mengorbankan yang lemah. Masa yang kacau ini berlangsung lebih dari seratus tahun, dan dikenal dengan Sengoku Jidai (perang saudara), ini kira-kira dari tahun 1477 hingga tahun 1585. Pemberontakan ini pada dasarnya diakibatkan oleh para penguasa yang dalam menjalankan tugasnya tanpa menghiraukan penderitaan rakyat (Yoshinobu Inoura, 1971), (Taro Sakamoto, 1981). Keadaan yang kacau ini dijadikan kesempatan oleh para penguasa propinsi (Shugo Daimyo) untuk meluaskan daerahnya. Sehinga para penguasa propinsi tersebut semakin kuat dan menguasai tanah yang luas. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki, para penguasa menjalankan tugasnya dengan cara yang kejam dan tanpa memperdulikan kondisi masyarakat yang dikuasainya. Akibatnya kehidupan golongan sosial bawah sebagai masyarakat yang dikuasai semakin menderita baik secara lahiriah maupun bathiniah. Akhirnya timbul antipati dari golongan sosial bawah terhadap para penguasa tersebut. Perasaan antipati ini sebenarnya sudah ada sejak akhir zaman Kamakura. Masyarakat golongan sosial bawah dalam zaman Kamakura akhir, berhasil dalam membentuk perserikatan kampung (Gosongrengo). Perserikatan kampung seperti ini disebut juga dengan istilah So. Petani yang antipati dari beberapa kampung bersatu, kemudian memukul mundur kekuatan pasukan penguasa yang datang menyerang.
Hal ini menujukkan pertama kali adanya semangat kritis dari golongan sosial bawah zaman Chuusei. Sebagai kelanjutan dari keadaan masyarakat golongan sosial bawah (petani) yang bersatu ini, timbul usaha golongan sosial bawah untuk mempertahankan kampungnya, dan hal ini disebut dengan istilah Jieitai (pertahanan diri). Oleh karena itu, gosonrengo pada hakekatnya ditujukan untuk mempertahankan kampungnya dari serangan-serangan pihak luar yang mereka anggap musuh, menentang para penguasa yang kurang disenangi dalam menjalankan tugasnya dan juga untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan kelompoknya secara bersama-sama (perasaaan kebersamaan) (lihat Fuji :51). Sebagai akibat dari ulah para penguasa yang kurang disenangi masyarakat golongan sosial bawah pada zaman Chuusei ini, maka pemborantakan-pemberontakan terhadap para penguasa terus terjadi. Sehinga menimbulkan pemberontakan Gekokujo (bawahan memberontak terhadap atasan). Pemberontakan Gekokujo ini memberikan pengaruh pada kehidupan golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Sebagai dampak Gekokujo, kehidupan golongan sosial bawah terasa ada sedikit perkembangan di sektor pertanian, perindustrian, dan kebudayaan. Kebudayaan menyebar ke propinsi-propinsi atau ke kalangan sosial bawah. Pada saat ini golongan sosial bawah dapat menikmati kesenian yang semula hanya dimiliki oleh kaum bangsawan saja. Penyebaran kebudayan ke propinsi-propinsi menurut Taro Sakamoto (1981) diakibatkan oleh adanya para Bushi (militer) yang ditempatkan di daerah-daerah.
Sebelum zaman Chuusei pada umumnya kaum bangsawanlah yang berhubungan erat dengan kesenian atau kebudayaan. Tetapi setelah memasuki zaman Chuusei, wibawa kaum bangsawan (keluarga Fujiwara) jatuh dan muncul penguasa baru yaitu golongan militer (Bushi) yang di awali oleh keluarga–keluarga Minamoto no Yoritomo. Para bushi yang menjadi Kenai (anak buah) Minamoto yang berprestasi diangkat menjadi Gokenin (penguasa pemerinahan di daerah). Dalam hala ini, dapat dikatakan logis bahwa bushi sebagai penyebar kebudayaan atau keseniaan ke kalangan golongan sosial bawah daam zaman Chuusei. Sesuai dengan menyebarnya kebudayaan, kesenian ke kalangan sosial bawah alam zaman Chuusei ini, pada kesempatan ini golongan sosial bawah dapat memanfaatkan seni drama Noh Kyougen untuk mengungkapkan pengalaman atau penderitaan yang mereka rasakan dalam zaman Chuusei. Melalui seniman drama pada zaman yang besangkutan, golongan sosial bawah dapat mengungkapkan kondisi kehidupannya (penderitaan-penderitaan yang mereka rasakan) dalam zaman Chuusei. Sesuai dengan pendapat Yoshinobu Inoura, bahwa drama selain merupakan cara pengungkapan kehidupan spiritual dan kultural manusia, juga merupakan hiburan.
Hiburan menurut Saini Kosim (1992: 134) adalah suatu perbuatan untuk memenuhi keperluan bagi masyarakat yang ingin melepaskan diri atau melarikan diri sementara waktu dari persoalan kehidupan mereka sehari-hari. Bila mengikuti pendapat ini, maka dapat dikatakan bahwa drama Noh Kyougen dimanfaatkan juga oleh golongan sosial bawah sebagai pelepasan diri sementara waktu dari persoalan kehidupan yang mereka rasakan sehari-hari. Dalam hal ini, Noh Kyougen difungsikan sebagai hiburan bagi golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei guna mengimbangi penderitaan-penderitaan yang mereka rasakan. Sebagai salah satu contoh Noh Kyougen yang mengungkapkan atau yang settingnya penderitaan-penderitaan, keluhan-keluhan yang dirasakan oleh golongan sosial bawah dan segala tindakannya, dapat dilihat dalam naskah Kyogen yang berjudul Buaku. Saigo Nobutsuna (1993 : 106) mengatakan bahwa cerita Buaku mengandung pengungkapan keluhan-keluhan golongan sosial bawah, pertentangan terhadap daimyo, dan perasaan kebersamaan antara sesama golongan sosial bawah. Daimyo (golongan militer kelas atas) adalah kelompok atau masyarakat yang mempunyai status sosial golongan kelas atas yang dalam zaman Chuusei dikenal sebagai kelas penguasa. Sedangkan bushi kelas rendah, petani, tukang, pedagang, dan buruh memiliki status sebagai golongan sosial bawah dan sebagai kelas yang dikuasai (Nakamura, 1991 : 204). Golongan sosial bawah (shomin) seperti bushi kelas rendah, petani (nomin), tukang(kojin), pedagang (shonin), buruh kasar (genin) adalah sebagai penyokong drama Noh Kyougen.
Sudah barang tentu isi ceritanya mengandung atau mencerminkan kondisi kehidupan golongan sosial bawah tersebut. Sehingga tema Kyougen banyak yang bertemakan mengenai hubungan penguasa dan yang dikuasai atau hubungan tuan dan bawahannya (pembantunya). Cerita Buaku pada dasarnya menunjukkan hubungan antara kelas penguasa dan kelas yang dikuasai. Dan juga menunjukkan adanya atau munculnya pemikiran kritis dari golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei sebagai reaksi atas penderitaan-penderitaan yang dirasakannya. Naskah Kyogen banyak bertemakan hubungan antara tuan (penguasa) dan bawahannya (yang dikuasai), yang di dalamnya mengandung unsur-unsur sindiran atau pertentangan terhadap para penguasa (daimyo). Selain itu mengandung juga unsur hiburan, karena cerita Kyougen penuh dengan sindiran-sindiran yang menggelitik, sehingga para penonton (terutama golongan sosial bawah) merasa senang dan terhibur. Pengungkapan keluhan-keluhan golongan sosial bawah dan pertentangan-pertentangan terhadap para daimyo melalui karya sastra pada zaman Chuusei ini, boleh dikatakan awal dari bangkitnya golongan sosial bawah. Karya sastra yang dihasilkan dalam zaman Chuusei ini, terutama yang berkaitan dengan kehidupan golongan sosial bawah di antaranya adalah hikayat Gunki Monogatari, Otogizoshi, drama Noh Kyougen. Pada dasarnya, karya sastra ini menggambarkan karakteristik zaman Chuusei (Isoji Asoo, 1983).
Kondisi sosial zaman Chuusei yang dijadikan setting atau terungkapkan dalam cerita Buaku tersebut, berkat adanya seniman drama yang peka terhadap kondisi kehidupan yang ada dilingkungan mereka. Dan para seniman ini mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui sejelas-jelasnya. Oleh karena itu masalah seniman ini perlu mendapat perhatian, karena seniman merupakan orang yang memberi isi dan bentuk karya sastra termasuk unsur yang bernilai sejarah (Atar Semi, 1993 : 66). 1.3. Seniman Drama Noh Kyougen Melalui drama seorang seniman mengungkapkan problem kehidupan yang seniman sendiri ikut berada di dalamnya. Yang Oleh karena itu seniman merupakan orang yang memberi isi dan bentuk drama termasuk unsur yang bernilai sejarah. Kita lebih mudah memahami sebuah karya bila terlebih dahulu telah memahami penulisnya dan penciptanya. Yang harus diperhatkan dalam seniman ini adalah riwayat hidup, status sosial, falsafah hidup, pendidikan dan kehidupan keagamaannya (Atar Semi, 1993 : 66-75). Seniman Noh Kyougen yang terkenal adalah Kanami dan Zeami (anaknya). Ami seperti yang terdapat pada Kanami dan Zeami merupakan gelar. Pada umumnya orang-orang, kaum padri yang bekerja dalam bidang seni, upacara teh dan pekerjaan lain yang ada di lingkungan Shogun yang tergolong Doboshu (pembantu/pelayan), pada zaman Muromachi diberi gelar Ami. Misalnya ada orang yang bernama Noami adalah orang yang ahli dalam bidang upacara teh, Kanami dan Zeami adalah orang yang ahli dalam bidang drama Noh Kyougen. Onami ahli dalam bidang pertamanan dan lain-lain, kebanyakan orang yang memiliki gelar Ami ini adalah penganut sekte Jishu (Nihon Geinoshi, 1993 : 129). 1. Kanami Kanami dilahirkan pada tahun 1333 tepat pada waktu itu runtuhnya Kamakura dan meninggal tahun 1384 dalam usia 52 tahun. Kanami adalah orang yang dilahirkan pada masa kekacauan Nanbokucho dan bersamaan dengan munculnya Sarugaku Noh. Kanami dilahirkan dalam keluarga Hatori di daerah Iga yang merupakan desa pertanian.
Hatori Iga ini adalah keluarga yang terkenal dan seorang Ninja (mata-mata). Ibunya berdasarkan silsilah keturunan adalah saudara perempuan dari Kusunoki Masashige yaitu orang yang terkenal pada masa Nanbokucho dan ayahnya bernama Jirozaemon Motoshige (Tamotsu Matsuda, 1976 :34; Kitagawa, 1981 :9) . Kanami diangkat sebagai anak angkat keluarga Dayu dari grup Yamada Sarugaku di Yamato. Dan disinilah seniman Kanami muncul dan mulai mengembangkan bakat seninya. Untuk mencegah terjadinya persaingan grup di antara satu keluarga, Kanami memutuskan untuk kembali ke daerah Iga tempat nenek moyangnya dahulu, dan ia membentuk grup Sarugaku yang disebut Yuzaki atau Yamato Yuzaki. Sehubungan pada saat itu di Yamato banyak hiburan diselenggarakan di Jinja Bukaku, Kanami merencanakan mengembangkan grupnya ke Yamato sambil berbakti pada Jinja (kuil Shinto). Ini menunjukkan bahwa Kanami bersama grupnya berkembang dari desa pertanian Iga ke Yamato, hal ini bagi pemain (aktor) Sarugaku tidak lain adalah hal pengembangan kepada satu tingkat (kelas tinggi). Di sini seni Kanami kelihatan cemerlang dan akhirnya grup Yuzaki ini terbilang sebagai satu grup Saugaku yang mewakili Yamato. Kemudian ada grup lain yang bernama Kanze, grup ini merupakan turunan dari grup Yuzaki, karena Kanze adalah nama waktu kecil Kanami yaitu Kanze Maru (Kitagawa, 1981 : 9). Sarugaku Noh pada saat itu lambat laun mendapat dukungan rakyat, akhirnya menjadi populer di setiap daerah dan di Yamato pun selain grup Kanze muncul grup-grup lain seperti Hosho, Kongo dan Komparu, dan ini disebut Yamato Shiza (empat grup Yamato). Selain itupun dibentuk juga grup Sarugaku di Omi, Tamba, Ise, Settsu dan lain-lain (1981 : 10). Selain Sarugaku Noh ada juga Dengaku Noh di Kyoto dan Nara. Dengaku dipertunjukkan mula-mula pada waktu menanami sawah dengan tujuan mendoakan supaya panen berlimpah dan Dengaku ini merupakan musik sawah yang memberikan semangat pada orang yang menanami sawah.
Setelah itu unsur menyanyi dan menari yang diiringi musik menjadi populer dan tersebar sampai ke kota besar. Hal ini membuat timbulnya kelompok pekerja utama (kesenian dijadikan pekerjaan utama) dan ini berkembang sehingga mengakibatkan satu grup mulai membikin drama yang memfokuskan seni akrobatik, tari dan nyanyian. Keadaan ini terlihat di dalam zaman Kamakura. Kelihatannya dalam hal ini Dengaku Noh dan Sarugaku Noh memperlihatkan suatu hal yang sama, tetapi berbeda dalam proses pembuatannya. Karena zaman hiburan rakyat yang baru seperti ini yang memegang peranan, maka pada setiap grup banyak orang yang ahli, misalnya Ichu adalah ahli dalam Dengaku dan Ichu ini merupakan guru dari Kanami juga, kemudian ada Kiami seorang yang ahli dalam Onkyoku (nyanyian yang diiringi musik Samisen) dan di Omi pun ada juga seorang ahli yang bernama Inou Doami.
Kanami karena bergaul dan bersaing dengan orang yang lebih ahli yang merupakan saingannya, dia berusaha untuk meningkatkan seninya. Dia memperbaiki inti isi dari Yamato Sarugaku, selanjutnya berniat mengembangkan dengan cepat pada masa berikutnya. Noh masa Kanami adalah drama rakyat asli (murni), dibuat dan dipertunjukkan sendiri. Pembuatannya pun bebas, memasukkan tarian dan memodifikasi lagu-lagu dengan iringan samisen dan betul-betul merupakan sekehendak hati. Kanami karena memperhatikan rakyat jelata mendapat penghargaan dan nama baik sebagai penghibur (artis). Kehebatan Kanami antara lain adalah usahanya dalam memperbaiki sifat seni yang mendekatkan diri kepada rakyat (1981:12). Kanami beranggapan bahwa seni pantomim membosankan bila tanpa diselipkan seni-seni yang lain. Selanjutnya Kanami dalam hal ini sangat memperhatikan lagu (nyanyian) dan tarian.
Oleh karena itu Kanami memasukkan nyanyian dan tarian ke dalam seni pantomim (monomase). Ini merupakan langkah pertama Kanami menekankan kahalusan pada Noh dan berdasarkan bentuknya sebagai drama simbolik dan bukan hanya drama realisme belaka. Dengan keterampilannya Kanami banyak membuat Noh yang hebat serta sedikit-demi sedikit mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Kira-kira tahun 1371 dan 1372 Kanami melaksanakan pertunjukkan selama 7 hari di kuil Daigoji di Kyoto, sejak itu meningkat popularitasnya di Kyoto. Shogun Ashikaga Yoshimitsu yang telah mendengar kabar popularitas itu, berangkat ke Imagumano menonton pertunjukkan Kanami (1981:14). Sarugaku Noh yang dilakukan (sebagai pekerjaan mengemis) akhirnya dikagumi oleh kaum bangsawan. Pada tahun 1374 saat-saat masa popularitas ini Kanami berusia 42 tahun dan Yoshimitsu berusia 17 tahun. Kanami pada pertunjukan Noh di Imagumano menarikan Okina (tarian kesucian) sebagai pembukaan. Tarian Okina pada awalnya hanya ditarikan oleh seorang senior atau seorang yang lebih tua saja, ini berdasarkan anggapan bahwa orang tua sama dengan dewa (Kami). Orang tua merupakan yang paling dekat dengan dewa (tuhan), kemudian orang tua ini menari dengan memakai topeng Okina. Pada tahun 1381 di lingkungan Shogun Yoshimitsu ada orang yang mengagumi Sarugaku Noh yaitu Ebina no Naami, mereka menyarankan terhadap Kanami bahwa yang menarikan Okina tersebut jangan orang tua lebih baik dilakukan oleh aktor utama dari satu grup. Berarti dari orang tua ke aktor utama, dan Okina ini dalam Sarugaku Noh dari orientasi kepada kepercayaan atau keagamaan beralih ke orientasi kepada seni.
Usaha grup ini dapat dikatakan sebagai peristiwa yang menunjukkan adanya perubahan tema pertunjukkan dari penekanan pada kebaktian upacara keagamaan ke unsur hiburan yang menyenangkan (1981 : 14). Pertunjukkan di Imagumano ini membuat nama Kanami diakui secara resmi sebagai seorang yang terkemuka dalam bidang Noh. Yoshimitsu sejak itu mengagumi Kanami dan anaknya Zeami yang sat itu berumur 12 tahun. Noh Kanami yang dalam waktu yang lama didukung oleh Jinja dan Desa pertanian, akhirnya memperoleh pengagum yang baru, yakni orang-orang kota, keluarga Bushi (militer). Keluarga bangsawan istana yang baru muncul sebagai orang ninggrat (1981 : 15). Sejarah Noh bagaimanapun tidak dapat melupakan eksistensi Yoshimitsu, karena berkat kehendak Yoshimitsu pada saat itu, Kanami membubuhkan sentuhan kehalusan (Yugen) pada monomane (pantomim) yang menjadikan rakyat sebagai tokoh cerita seperti yang telah disebut sebelumnya. Yoshimitsu dididik oleh Hoshokawa (orang penting dalam bakufu dan juga dia bertugas sebagai pembimbing Yoshimitsu), Hoshokawa mendidik kebiasaan-kebiasaan istana (hal-hal yang halus) pada Yoshimitsu.
Tetapi walaupun dia dididik di lingkungan istana, tetapi tetap saja hal-hal yang melatarbelakangi kelahiran dia (seorang Shogun) tidak bisa hilang, sehingga hal ini melandasi prilaku Yoshimitsu dalam perhatiannya terhadap seni terutama Sarugaku Noh (1981: 15). Kanami walaupun mendapat perlindungan dari Yoshimitsu kelihatannya tidak melupakan keberadaan rakyat yang merupakan dasar dirinya (pribadinya). Dan sampai bagian akhir dari hidupnya Kanami pergi berangkat ke Tosha dan Yamasato, dan pada tahun 1384 Kanami meninggal dunia. Dia meninggalkan kota pergi ke Horakuno Asama jinja dan segera membuat tontonan yang mempesona dengan gaya panggung yang indah berwarna-warni. Benar-benar ini dapat dikatakan saat-saat terakhirnya Kanami berpisah dari rakyat (1981:16). Apabila melihat kembali selama Kanami hidup, pertama-tama dia membuka grup di Iga (desa pertanian), kemudian pergi ke Yamato dan terus ke Kyoto dalam rangka mengembangkan grup seninya, dia terus menerus mengembangkan aktivitasnya dibidang seni (Sarugaku Noh) dan berusaha untuk mengalihkan sumber pendukungnya perlahan-lahan. Misalnya pada tahap awal didukung desa pertanian, tahap kedua didukung oleh kuil Budha/Shinto Yamato yang memiliki kekuasaan dari zaman dulu, lalu tahap ketiga masyarakat kota dan bangsawan keluarga militer yang baru bangkit di Kyoto.
Dalam pemberontakan Nanbokucho, karena kuil kehilangan Shoen sebagai dasar kelangsungan hidupnya dan masyarakat kota merupakan masyarakat yang makmur pada zaman tersebut, maka Kanami berusaha untuk membujuk kelas ini untuk menyokong hiburan yang dia tampilkan. Dalam hal ini Kanami dapat dikatakan sebagai orang yang luar biasa kemampuannya sebagai pengusaha grup hiburannya (1981:17). Kanami diterima dengan baik di desa maupun di kota, selanjutnya dia merupakan orang yang memiliki wawasan seni yang luas dan dikagumi oleh berbagai lapisan masyarakat dan rakyat sampai Shogun. Dengan uraian di atas, kita dapat mengetahui riwayat Kanami beserta kagiatan-kegiatan yang mereka lakukan yang berhubungan dengan pengembangan bakat seni dan perkembangnya seni dramanya. Selanjutnya hal ini menjadi dasar penulis dalam menulis drama Noh Kyougen dan untuk mengetahui latar belakang penciptaan naskah-naskah Noh Kyougen dilihat dari penciptanya. 2. Zeami Zeami adalah anak Kanami dan diperkirakan lahirnya pada tahun 1363 yaitu 5 tahun setelah kematian Shogun Ashikaga Takauji dan dibawah pemerintahan Yoshiakira generasi kedua Shogun Ashikaga. Nama aslinya adalah Kanze Saburo Motokiyo dan nama waktu kecilnya adalah Omiyasha (Kitagawa Tadahiko, 1981 :20). Berdasarkan catatan-catatan dalam ―Kanze Fukuda Keizu‖ ibu Zeami adalah anak perempuan Iibonoshono Nagatomi Saemon Rokuro dari daerah Harima kalau sekarang Hyogoken dan dikabarkan juga sebagai anak perempuan pendeta Budha Omata Takehara Daikaku, Zeami ini dilahirkan di Nagaoka (lihat Tamotsu Matsuda, 1976 : 36).
Karena mendapat perlindungan dari Shogun Yoshimitsu, Zeami hidup di dalam keluarga militer Muromachi dan sebagai Doboshu di lingkungan itu, bersamaan dengan memperoleh pendidikan keluarga bangsawan militer pada saat itu, dia dengan kejeliannya dan bakat seninya yang hebat akhirnya memiliki teknik seni atau akting yang cocok dengan keinginan, selera masyarakat kelas atas (bangsawan). Fujiki dan catatan Yoshimoto dari sejak kecil Zeami telah berhubungan dengan budayawan yang bernama Yoshimoto dan shogun Yoshimitsu, kemudian tumbuh di dalam lingkungan kebudayaan bangsawan dan kebudayaan kota (Kitagawa, 1981:22). Kazai dalam Nihon Geinoshi (1993: 131) mengatakan bahwa Zeami adalah Doboshu di lingkungan shogun Yoshimitsu dan juga mengatakan bahwa Ami pada umumnya adalah penganut Jishu, akan tetapi untuk Zeami bukanlah penganut Jishu secara utuh. Hal ini disebabkan karena Zeami belajar juga Zen(sekte Zen dalam agama Budha) dari Chikuso, maka Zeami adalah penganut sekte Zen juga.
Dengan demikian anggapan bahwa Doboshu semuanya penganut Jishu belum tentu, karena untuk Zeami lain. Zeami karena memiliki gelar yang disebut Zea atau Zeami yang merupakan pemendekan dari Zeamidabutsu (Budha), bagaimanapun ini ada kaitannya dengan agama Jishu dan orang-orang penganut Jishu ini disebut juga dengan Jishuu (1981 :22). Zeami pada waktu usia 10 tahun ikut ayahnya Kanami dalam mempertunjukkan Sarugaku Noh selama 7 hari di kuil Daigo yang ada di Kyoto, Zeami walaupun masih kecil telah memperlihatkan keterampilan seni yang hebat sekali. Pada usia 12 tahun Kanami mempertunjukkan Noh di Imagumano dilihat oleh Yoshimitsu, sehingga Yoshimitsu pun mengagumi pertunjukkan tersebut. Dan ini merupakan masa perubahan baik bagi Zeami yang masih kecil maupun bagi grup Kanze (1981 : 27). Keahlian Zeami tidak hanya berhubungan dengan Sarugaku Noh tetapi Zeami saat kecil mahir juga mengubah Renga dan mali (permainan bola). Pada usia 12 tahun Zeami diakui oleh Yoshmitsu, kemudian pada usia 13 tahun Zeami berkunjung kepada Nijo Yoshimoto seorang budayawan yang hebat pada saat itu dan sebelumnya menjabat sebagai penasihat kekaisaran. Disitulah Zeami diberi nama Fujikawa oleh Yoshimoto. Setelah berada sekitar 2 atau 3 tahun di Kyoto Zeami sudah mengubah renga (puisi) sehingga sangat mengesankan Yoshimoto.
Renga yang dipelajari oleh Zeami bukanlah renga orang biasa tetapi renga bangsawan. Yoshimoto dalam Kitagawa (1981 :29) mengatakan bahwa Zeami bukan ahli seni saja, tetapi dia mahir dalam permainan kemali, renga, kemudian penampilan dan perilakunya sangat mengesankan dan luar biasa, saya belum pernah lihat anak seperti itu. Shogun pun memujinya atau mengaguminya, susah dapat orang seperti itu, dan tak terpikirkan saya dapat berjumpa dengan orang seperti itu. Tidak hanya Yoshimoto saja bahkan shogun Yoshimitsu pun ikut juga menyayanginya. Kalau para Daimyou (tuan-tuan feodal) memberi hadiah kepada Fujikawa (Zeami), Yoshimitsu merasa senang sekali, maka para Daimyo bersaing memberi barang-barang yang sangat mahal atau banyak sekali kepada Fujikawa dengan tujuan mengambil hati shogun Yoshimitsu (1981: 31). Dari uraian di atas, terlihat suasana Zeami dalam masa kecilnya sudah bergaul dengan golongan bangsawan, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa Zeami dibesarkan di lingkungan kebudayaan bangsawan dan kebudayaan kota. Ini berbeda dengan ayahnya Kanami yang dibesarkan di desa. Zeami mengagumi kejayaan ayahnya selama hidupnya, tetapi karena berbeda dalam masalah titik keberangkatannya, maka dunia kedua orang ini sudah tentu terpisah. Kanami lebih menitikberatkan pada karakter Inaka (desa) dan Ongokun (negeri yang jauh), sedangkan Zeami tidak memliki aroma suasana ayahnya yang dibesarkan di desa, tetapi dipengaruhi ole kebudayaan bangsawan dan kehidupan kota.
Sebagian besar penghbur zaman Chuusei ini adalah dari golongan Sanjo. Sanjo zaman Chuusei adalah orang yang bekerja sebagai tukang sapu atau tukang gali di kuil-kuil (dikutip dari kamus Kojien). Sanjo ini sebagai penganut Budha dan diperlakukan sebagai orang rendah. Penghibur ini disatu pihak dia dihina dan di pihak lain dia menjadi idola rakyat, dia dapat belajar dan sangat bebas. Dia bisa menghadap orang bangsawan dan juga pergi ke medan perang yang berbahaya sekalipun secara bebas. Golongan Jishu pun sama mempunyai kebebasan seperti di atas atau seperti Sanjo. Jadi penghibur (Geinojin) atau penganut Jishu ini dianggap menghilangkan perbedaan status, karena dia bisa bebas. Dalam hal ini, Zeami pun karena sebagai seorang penghibur, supaya mendapat posisi yang bebas berpura-pura orang Jishu (1981:23). Sarugaku seperti diketahui sebagai tingkah laku pengemis di Yamato. Sarugaku adalah pekerjaan orang rendahan yang hina seperti Shirabyoshi (penari wanita zaman Chuusei), Kanetataki (orang yang memukul lonceng berkeliling sambil mengemis dan menghafalkan kitab sutra) dan lain-lain. Sarugaku ini di bawah kekuasaan Shomoji yang sama sekelasnya dengan Senmai (orang golongan rendah/hina). Sehingga Zeami pun di mata orang-orang dikatakan sebagai anak pengemis, karena dia yang ahli dalam bidang seni ini. Sehingga ada yang mengatakan bahwa anak pengemis itu dapat duduk di sebelah shogun. Para daimy untuk menarik simpati shogun memberikan hadiah yang cukup banyak dan mahal-mahal secara bersaing kepada Zeami. Zeami sebagai salah satu seorang anggota Sarugaku yang merupakan pekerjaan pengemis bisa duduk dengan Yoshimitsu dan sama-sama bisa menonton Gion Matsuri yang sangat besar, peristiwa ini belum pernah ada contoh sebelumnya (1981 : 31-32). Dari uraian di atas, ini bisa dilihat bahwa Zeami disatu pihak merupakan keturunan dari desa dan di pihak lain merupakan anak kota. Karena selera atau budaya Zeami dari masih kecil ala kota dan ala bangsawan, maka Zemai bisa menyesuaikan dengan selera Yoshimoto dan Yoshimitsu, hal ini dapat dikatakan ada suatu kontradiksi antara sifat dari nenek moyangnya dengan perasaan dia pribadi. Fujikawa yang berusia 16 tahun ini lama kelamaan meniadakan kontradiksi ini dengan cara menghilangkan sifat sebenarnya dan mengembangkan pribadinya (Kitagawa, 1981:32).
Pada umur 22 tahun ayahnya Zeami meninggal, walaupun pada waktu ini Yoshimitsu banyak membantu Zeami, secara spiritual kondisi Zeami pada saat ini menjadi tidak jelas. Zeami muncul kembali ke hadapan masyarakat yaitu pada waktu runtuhnya Yamauji (daimyo) karena pemberontakan, bersatunya kekaisaran Utara dan selatan (Nanbokucho), dan setelah kuatnya landasan Bakufu Muromachi (1981 :33). Di rumah Yoshimitsu pada tahun 1342 tanggal 27, 28 Juni diadakan Sarugaku dan kaisar pun datang melihatnya dan pada tahun 1348 Yoshimitsu di tempat kediamanya di Kitayama menyambut kedatangan kaisar Gokomatsu dan merayakannya dengan pertunjukkan Bugaku, Sarugaku Noh dan tentu saja Zeami pun muncul dalam pertunjukan itu, hal ini menunjukkan bahwa seni Zeami telah dikagumi golongan atas. Setelah dua bulan kaisar datang ke Kitayama, pada tanggal 6 Mei 1348 Yo shimitsu meninggal dalam usia 51 tahun. Selanjutnya kepemimpinan diganti oleh shogun Yoshimochi. Kematian Yoshimitsu mengakibatkan suramnya kedaan Zeami, karena kehilangan pelindung dia mundur ke Sarugaku kuil daerah. Hal ini disebabkan oleh kebencian Yoshimochi terhadap ayahnya Yoshimitsu yang menyayamgi Yoshitsugu anak Yoshimitsu dari istri kedua. Akibatnya Yoshimochi membenci segala sesuatu yang disukai atau digemari ayahnya. Karena Zeami sangat dikagumi ayahnya, maka Zeami pun dibencinya, sehinga Yoshimochi mengagumi yang lain asal jangan Zeami. Hal ini merupakan masa kesulitan Zeami yang pertama, dan masa kesulitan yang kedua terjadi juga pada setelah Yoshimochi meninggal dan diganti oleh shogun Yoshinari(1981:40). Karena ada perubahan sosial, Zeami tidak senang di kota, dan karena tidak cocok lagi dengan orang atas dia mundur ke kuil, tapi dia tidak menghilangkan kekuatan seninya, dan merasa bahwa mungkin dalam suatu waktu ada kesempatan lagi. Kalau dilihat, Sarugaku di kota atau di desa berbeda, tetapi sebetulnya intinya adalah sama yaitu menitikberatkan popularitas (Shujinsei, 1981 :47). Hal di atas menunjukkan adanya kecenderungan Zeami mengikuti jejak ayahnya yang mengutamakan desa dan negeri jauh. Selain Kanami dan Zeami ada lagi seniman drama Noh Kyougen yaitu, Onami dan Zenchiku. Kedua seniman ini pengikut Zeami, sudah barang tentu mereka mempunyai hubungan dekat dengan Zeami. Sehinga gaya seninya tidak jauh berbeda dengan Zeami. Dan pada zaman Onami dan Zenchikulah Noh dan Kyougen berhasil digemari oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak orang-orang yang menemukan kesenangannya dalam pertunjukkan Noh Kyougen.
Fungsi Drama Noh Kyougen Zeami dalam memperkaya gaya seninya banyak mengambil gaya seni dari Kanami walaupun Zeami pada awalnya berangkat dari kebudayaan kota, berbeda dengan Kanami yang berawal dari desa. Zeami cenderung mengikuti jejak Kanami yang mengutamakan desa dan memperhatikan rakyat(Kitagawa, 1981 : 12; Yoshinobu Inoura, 1971 : 93-94). Naskah Noh Kyougen yang terkenal dari Zeami adalah Kani Yamabushi, Fuku no Kami yang menggambarkan kehidupan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Dan banyak lagi yang lainnya yang mempermasalahkan hubungan tuan dan bawahan (Shujukankei), kedewaan (kesucian), petani, pencuri dan sebagainya. Naskah Noh Kyougen dibuat untuk dipertunjukkan di atas panggung melalui pemainnya (aktor) berupa dialog-dialog. Dalam dialog-dialognya mempermasalahkan kehidupan sehari-hari golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei, diselingi lagu-lagu dan diikuti gerakan-gerakan. Setiap pertunjukkan menggambarkan tindakan sosial (social action) yang dapat dirasakan oleh para pemain dan penonton. Sehingga dialog-dialognya dan cerita Noh Kyougen mengambarkan kesamaan ide antara para peserta (penonton) dengan para pemain yang menggunakan media untuk mencapai tujuan (James Peacock).
Dengan demkian segala hal yang menyangkut pertunjukkan seperti dialog-dialog dan cerita Kyougen sebagai konsepsi tindakan sosial (social action) dianalisis sebagai tindakan yang bermakna simbol. Dalam pertunjukkan Noh Kyougen, melibatkan para pemain dan para penonton yang terdiri dari semua golongan, yakni golongan penguasa (daimyo), golongan bawah (bushi kelas rendah, petani, pedagang, buruh) bahkan juga shogun. Diantara para pemain dan penonton terjadi suatu proses komunikasi. Komunikasi berlangsung melalui simbol-simbol atau tanda-tanda yang signifikan. Kata-kata, isyarat dan tanda objek lain digunakan oleh pemain Noh Kyougen untuk menyampaikan maksudnya (keluhan-keluhan, keinginan-keinginan, pengalaman-pengalaman) kepada penonton. Sehingga Noh Kyougen merupakan alat komunikasi, yakni Noh Kyougen tersebut digunakan oleh golongan sosial bawah zaman Chuusei sebagai alat untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan keluhan-keluhan, keinginan-keinginan, pengalaman-pengalaman golo-ngan sosial bawah (penderitaan-penderitaan yang dirasakan oleh golongan sosial bawah zaman Chuusei).
Jung dalam Spink (1992 : 131) mengatakan bahwa kita harus menginterpretasikan aktivitas manusia, terutama aktivitas yang diungkap- kan secara simbolis dengan apa yang diharapkan. Humar Sahman (1993 : 44) mengatakan bahwa interpretasi berkaitan dengan pertanyaan tentang makna karya seni atau apa yang sesungguhnya kita cari pada karya seni. Dengan mengenali maksud si seniman, dan tema yang dipilihnya, kita akan bisa sampai kepada makna yang dicari, kepada apa yang bisa ditemukan pada karya seni. Oleh karena itu segala aktivitas golongan sosial bawah pada zaman Chuusei yang diungkapkan secara simbolis atau yang diungkapkan dengan kata-kata, tanda-tanda kebahasaan melalui drama Noh Kyougen harus diinterpretasikan guna mengetahui makna atau isi dari cerita Noh Kyougen tersebut. Dengan diketahuinya makna cerita Noh Kyougen, maka dapat diketahui pula maksud dan tujuan yang diharapkan oleh golongan sosial bawah ataupun seniman itu sendiri. Untuk mengetahui atau menginterpretasikan simbol-simbol yang terkandung dalam naskah Noh Kyougen, salah satu caranya dengan analisis struktur cerita Noh Kyougen dengan menggunakan teori struktur dan semiotik.
Ferdinand de Sausure dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (1992 : 52) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan dan dengan demikian dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, dengan bentuk sopan santun tanda-tanda kemiliteran, dengan abjad orang tuli bisu, dengan upacara simbolik dan lain-lain. Hanya bahasalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Linguistik hanya merupakan bagian dari ilmu yang umum ini. Aturan-aturan yang akan ditemukan oleh semiologi akan dapat diterapkan pada linguistik. Dengan demikian linguistik akan menjadi suatu bidang khusus yang termasuk dalam keseluruhan hubungan manusia. Kita dapat menggambarkan suatu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakan kami namakan itu semiologi dari bahasa Yunani yang berarti tanda. Ilmu ini akan mengajarkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda itu, kaidah-kaidah apa yang mengaturnya. Atar Semi (1989 : 45) mengatakan dalam semiotik segala unsur yang ada dalam suatu karya sastra dilihat sebagai bagian dari suatu sistem. Dengan demikian setiap unsur dalam suatu karya sastra masuk ke dalam suatu sistem tertentu. Karya sastra disusun berdasarkan suatu sistem, sesuatu yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat akan tercermin di dalam karya sastra karena karya sastra itu tidak dapat melepaskan diri dari sistem kemasyarakatan itu sendiri.
Bila suatu masyarakat memperlihatkan pembenturan berbagai nilai maka kekacauan dan pembenturan itu akan tercermin pula pada karya sastra itu. Pola bahasa masyarakat yang kacau, mungkin saja akan tercermin dalam bahasa yang dipergunakan juga oleh pelaku-pelaku cerita. Sehingga menelaah suatu karya sastra mau tidak mau harus menghubungkannya dengan kenyataan kehidupan masyarakat. Begitulah penting adanya analisis yang memperhatikan atau memandang sesuatu sebagai suatu sistem, yakni sistem tanda (semiotik). Drama Noh Kyougen merupakan hasil karya sastra dalam zaman Chuusei. Berdasarkan pendapat Sausure dan Atar Semi di atas, drama Noh Kyougen tersebut mencerminkan suatu yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat pada zaman Chuusei. Sehingga apabila dalam zaman Chuusei tesebut terjadi kekacauan atau pembenturan berbagai nilai, maka kekacauan dan pembenturan itu tercermin dalam cerita Noh Kyougen. Tentunya dalam menginterprestasikan isi cerita Noh Kyougen mau tak mau harus menghubungkannya dengan kanyataan kehidupan masyarakat pada zaman yang bersangkutan (Chuusei) terutama masyarakat golongan sosial bawah. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan semiotik yaitu pemahaman melalui tanda-tanda bahasa yang terdapat dalam cerita Noh Kyougen.
Noth dalam Parwatri Wahyono (1993) menyatakan pengertian fungsi adalah sesuatu istilah kunci dalam studi teks komunikasi, serta struktur dan sistem semiotik. Ada dua konsep utama fungsi semiotik yaitu fungsi struktur dan fungsi kegunaan atau Fungsi fragmatik. Konsep yang pertama adalah fungsi dalam bahasa dan yang kedua adalah fungsi komunikasi. Stuktur menurut Lane (1970:24) adalah sebagai berikut : A structure is a set of any elements between which or between sub sets of which relations are defined. Terjemahannya : Struktur adalah seperangkat unsur-unsur di antara mana atau di antara sub perangkat mana hubungan-hubungan dinyatakan. Teuw (1984 : 135) mengatakan bahwa analisis struktur pada prinsipnya bertujuan untuk memaparkan secermat, seteliti dan semendalam mungkin keterkaitan semua unsur dan aspek yang terkandung dan yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Dalam analisis struktur cerita Noh Kyougen ini, semua unsur yang terkandung seperti : alur, perwatakan, diksi dan lain-lain yang semuanya itu saling berkaitan dalam suatu bentuk cerita (naskah) Noh Kyougen, akan apat ditemukan maknanya dengan pertolongan pendekatan semiotik yaitu pemahaman melalui tanda-tanda bahasa yang terdapat dalam cerita Noh Kyougen, syair nyanyian dalam Noh
Kyougen dan spektakel Noh Kyougen. Hubungan cerita atau syair lagu yang ada dalam Noh Kyougen dengan siatuasi zaman Chuusei (kondisi kehidupan golongan sosial bawah) kita lihat sebagai tanda dan dalam kaitan ini tersirat fungsi dari semua unsur tadi. Dengan diketahuinya makna atau isi cerita Noh Kyougen, maka dapat juga diketahui maksud dan tujuan yang diharapkan oleh golongan sosial bawah ataupun seniman itu sendiri dalam zaman Chuusei. Selain itu dapat diketahui juga kondisi sosial zaman Chuusei terutama yang menyangkut kehidupan golongan bawah serta fungsi Noh Kyougen bagi golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei. Fungsi dalam ilmu sosial berarti sesuatu yang menunjukkan kaitan antara sesuatu hal dengan hal lain atau sesuatu yang menyatakan hubungan antara suatu hal dengan pemenuhan kebutuhan tertentu (Merton, 1969). Berdasarkan pengertian fungsi di atas menunjukkan bahwa dalam hubungan Noh kyougen dengan kondisi kehidupan golongan sosial bawah pada zaman Chuusei, tersirat Noh Kyougen hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan golongan sosial bawah zaman Chuusei. Misalnya kebutuhan untuk mengungkapkan penderitaan atau keluhan-keluhan yang dirasakan, kebutuhan untuk hiburan. Dari hubungan Noh Kyougen dengan pemenuhan kebutuhan golongan sosial bawah dalam zaman Chuusei, tersirat fungsi Noh Kyougen bagi golongan sosil bawah. Dari pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa fungsi dari Noh Kyougen sebagai alat untuk mengungkapkan penderitaan yang dirasakan oleh golongan sosial dalam zaman Chuusei, dan tumpahan penghiburan bagi penderitaan yang dirasakan golongan bawah dalam zaman Chuusei. Dengan kerangka berpikir seperti di atas, dalam buku ini penulis menunjukkan adanya pengungkapan kondisi kehidupan golongan sosial bawah yang menderita dalam zaman Chuusei oleh para seniman drama pada zaman yang bersangkutan melalui drama Noh Kyougen. Dan juga menunjukkan bahwa Noh Kyougen digunakan oleh golongan sosial bawah ini sebagai tumpahan penghiburan bagi penderitaan yang dirasakannya.